Menikmati sebagai ibu rumah tangga bukan hal yang sulit, tapi juga bukan hal yang mudah. Memutuskan menjadi ibu rumah tangga pun bukan perkara mudah, tapi ternyata bukan perkara yang sulit juga. Saya tidak rindu dengan rutinitas pekerjaan, yang saya rindu adalah gaji dan asuransi kesehatannya. Hahahaa. Saya juga tidak keberatan jadi ibu rumah tangga, karena saya bisa belajar banyak hal meski hanya dari rumah.
Bagi saya, tidak perlu mempertanyakan kedomestikan perempuan. Ketika saya memutuskan untuk resign dan fokus pada pengerjaan tesis saya, satu soal itu saja saya mendapat dua sisi pendapat dari orang yang berbeda-beda. Pendapat dari seorang ibu dengan dua orang anak dengan level officer yang setara dengan saya, memberi tanggapan dengan:
"Baguslah, kita bisa berbakti pada suami, mengurus rumah tangga. Insya Allah dilancarkan semua."
Sedangkan ada pendapat dari seorang perempuan lajang level supervisor yang usianya pertengahan 30-an:
"Yah, sayang banget. Kamu masih muda, kesempatan kejar karir dulu."
Nah, bagaimana dengan suami saya?
"Tanggung jawab, aja. Serius selesaikan tesis dan cari kerja lagi. Kerjaannya gak usah muluk-muluk. Yang penting kamu ada kegiatan."
Akhirnya, disinilah pepatah, i am the hero of my own story membuktikannya. Hanya saya sendiri yang bisa memutuskan apa yang akan terjadi dalam hidup. Saya memutuskan untuk menuruti apa kata suami saya setelah saya memutuskan untuk off dulu dari dunia perkantoran. Untuk urusan on-off ini, izin suami adalah kemewahan yang ia berikan kepada saya. Karena saya pernah ditanya oleh teman kantor lama kenapa saya resign. Alasan saya pun sekenanya: 'ingin rehat dulu', dan teman saya itu langsung menyembur:
"Gilee, iri gue ada orang yang resign cuma pengen istirahat. Gue aja dari gue pertama kerja sampai sekarang belum pernah istirahat."
Itu derita Anda. Hehehee. Perempuan adalah pihak yang paling mudah diberi label sosial oleh masyarakat. Perempuan dengan karir tinggi, dipertanyakan 'kesuksesan'-nya mengurus tetek bengek rumah tangga. Perempuan dengan ibu rumah tangga, harus bisa membuktikan diri bahwa menjadi ibu rumah tangga bisa tetap gaul, baik dari segi kehidupan sosial dan pengetahuannya.
Padahal, pasangan kita sendiri (baca: suami) kebanyakan di era sekarang ini sudah membebaskan kedomestikan perempuan tersebut. Sudah jauh dari zaman kuda gigit besi dimana perempuan hanya hidup diantara dapur, sumur, kasur. Dengan catatan, perempuan juga selalu berusaha mengingat perannya dalam keluarga. Ada suami yang memang menginginkan istrinya mengurus anak-anak di rumah, tapi sang istri tetap ingin berkarir di luar rumah. Banyak. Ada suami yang sangat mempersilakan istrinya bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga, juga banyak. Sangat disayangkan, bagi pasangan (baik itu suami atau istri) yang mengekang keinginan pasangannya menggapai aktualisasi diri.
Toh, urusan privat ini bukan untuk menjadi bahan rumpian. Cukup direnungkan. Begitu pun tulisan ini menjadi masukan & pengingat untuk saya. Mau menjadi ibu rumah tangga atau tidak, itu sungguh hal yang sangat sangat pribadi. Menurut saya, kalau tidak diutarakan oleh orangnya langsung, sebaiknya kita tidak usah bertanya tentang status karir orang lain. Tapi, sayang, kita hidup di daerah timur ya. Terlalu peduli dengan urusan orang lain, sampai 'lupa' berkaca dan evaluasi terhadap diri dan keluarganya sendiri. Termasuk saya.
For our inputs on another issue:
http://www.inc.com/articles/201104/women-in-technology-face-uphill-battle.html -> the image above is also taken from the link
betul kita adalah tokoh utama dalam kisah kita sendiri, so be ourselves :)
ReplyDeleteyap, setuju banget :)
ReplyDelete