Setelah menikah, saya dan suami mencoba untuk mengkonstruksi masa depan bagi keluarga kami. Setahun menjalani pernikahan yang seru (ya, dalam arti kata sebenarnya), meski kehidupan kami berdua belum dihiasi tangis dan tawa bocah kecil sang buah hati. Itu betul-betul absolut kuasa Tuhan, sambil berusaha, saya dan suami saya pun menerawang, memiliki anak asuh yang bisa kami bantu dia sekolah agar bisa mandiri. Ah, tapi itu masih jauh. Sekarang kami masih hanya mampu menabung untuk kebutuhan hidup kami berdua.
Tapi, niat itu sedikit menggelitik batin dan pikiran saya.
Saya pernah merasakan keindahan “berbagi” itu. Mengabadikannya.
Empat tahun lalu, dilatarbelakangi oleh
keinginan saya mendapat nilai sempurna di mata kuliah Fotografi Jurnalistik,
saya menemukan tempat yang bisa memenuhi misi saya waktu itu. TK Batutis.
Baca-tulis-gratis. Saya mendapat informasi tentang sekolah itu dari Majalah
Gatra, yang memuat review buku “Rumah Kisah: Selamat Datang Di Garasi” ditulis
oleh Siska Y. Massardi, tak lain adalah pendiri sekolah tersebut. Hmm, pikir
saya waktu itu seru juga. Dan begitu tahu tempatnya di Bekasi, saya nyengir.
Jauh amat dari rumah saya di Cempaka Putih. Tapi, ternyata semuanya berjalan tak
sesulit yang saya bayangkan. Berhasil menghubungi Ibu Siska dan membuat janji,
saya siap menyambangi TK Batutis.
TK Batutis Al-Ilmi adalah TK gratis untuk anak-anak
dhuafa yang didirikan oleh Ibu Siska. Dengan semangatnya dan orang-orang
terdekat di sekitarnya, TK Batutis sudah berkembang. Saya lihat di linimasa
Facebook milik Ibu Siska, TK Batutis sudah memiliki lahan sendiri plus mendirikan
SD. Akhirnya, impian tim TK Batutis waktu itu alhamdulillah kini sedikit demi
sedikit tercapai.
Entah ada semangat apa waktu itu hingga saya bersedia
menempuh perjalanan hampir dua jam hanya untuk foto dengan tema anak-anak. Saya
pun tidak mempersiapkan peralatan khusus jika dikatakan ingin photo-shoot. Saya
hanya membawa kamera saku. Tiga kali datang di siang hari, dalam
beberapa jam saya ikut kegiatan mereka.
Saya berkenalan dengan beberapa guru yang waktu itu
keseluruhan adalah perempuan. Saya pun mencoba berbincang dengan anak-anak usia
TK yang belajar di sana. Kesahajaan. Itulah atmosfir yang saya hirup dari
suasana disana. Di garasi rumah Ibu Siska, mereka menjalankan kegiatan
belajar-mengajar. Large classroom in small space. Mungkin itu ungkapan tepat. Alat-alat
tulis, krayon, kertas, poster berhitung, gambar-gambar hewan, rak-rak buku,
terbilang lengkap mengajak anak-anak menggambar, mewarnai, mengenal huruf dan
angka, dan semua hal yang mendukung kegiatan bermain sambil belajar. Tidak cuma
di kelas, anak-anak pun diajak menonton film DVD tentang edukasi dan belajar shalat. Sungguh, mereka ini adalah
anak-anak yang manis. Di balik kepolosan mereka, tersimpan bekal harapan besar
orang tua mereka supaya mereka tidak juga mengalami hidup prihatin. Oh iya, mereka juga
melakukan sebagian kegiatan kelas di teras rumah tetangga Ibu Siska yang
bersedia dipakai sebagai tempat belajar anak-anak batutis. Ah, lagi-lagi
indahnya berbagi...
Bicara tentang langkah mulia yang Ibu Siska ambil tak
akan ada habisnya. Beliau punya keinginan kuat untuk mengembangkan Batutis
Al-Ilmi. Terlihat dari progres yang beliau buat dengan mengikuti
pelatihan-pelatihan metode pendidikan dan terus mengembangkan sarananya. Then, I
got the message. Jika seseorang betul-betul ikhtiar mewujudkan impiannya, entah
bagaimana semesta ikut membantunya mencapai impian itu. Beliau tak hanya
seorang guru, tapi seorang pembelajar. TK Batutis sebagai sekolah unggulan bagi dhuafa juga sudah dipublikasikan beberapa media massa.
Tapi, ulasan saya ini bukan memuja Ibu Siska dan TK
Batutisnya. Saya hanya terharu dan amazed ternyata semangat seorang guru bisa
begitu besarnya. Saya tahu ada banyak guru-guru luar biasa lain yang mempunyai
kualitas unggul dan turut berkontribusi terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Saya ingin bertemu dengan guru-guru lain yang menciptakan atmosfir baru, yang
bisa menggugah semangat anak-anak didiknya untuk memiliki harapan. Dan saya pun
bisa belajar dari bapak dan ibu guru ini. Seorang guru dihormati, karena ia
mampu menunjukkan kepada anak didiknya bahwa ia memiliki pengetahuan luas dan
pikiran serta hati yang terbuka. Menjadi role-model bagi siswa-siswinya. Ini
menjadi tabungan pengetahuan dan pengalaman saya untuk menjadi orang tua kelak.
Orang tua yang tidak hanya memberi komando, tapi juga mengajak anaknya
bergandengan melihat dunia seperti seorang teman. Hmmm, ingin rasanya main ke Batutis lagi.
Lantas, bagaimana dengan misi penyelesaian tugas akhir kuliah
fotografi jurnalistik saya? Well, mission accomplished! Waktu itu, dengan penuh
percaya diri saya menyerahkan esai foto TK Batutis ini kepada dosen. Hasilnya?
Huruf A pun terpampang di transkrip nilai saya. :-)
Ketika aku paham...
Bahwa aku betulan merasakan alam adalah sekolahku
Semua orang adalah guruku
Aku bisa melihat relung dalam mata letihmu walau samar
Ada segenggam bekal yang akan engkau berikan
Dan aku bawa untuk perjalanan usia senjaku
Jadi, kala kita sudah sama menjadi orang yang tua
Ayolah,
Maukah kau berdansa denganku lagi?
Aku tahu bagaimana balas budi
Walau tuaku nanti tak punya apa-apa lagi
Dan aku hanya mampu memberi ini...
Sekuntum bunga matahari
Yang dulu pernah kita tanam di padang pelangi
Aku rindu usapanmu
Dan aku akan terus menghormatimu...
Dengan apa adanya dirimu, guruku
No comments:
Post a Comment