Wednesday, November 7, 2012

Membimbing, Lebih dari Sekadar Angka


Saya sempat bercita-cita menjadi guru. Hmm, tidak spesifik mau jadi guru apa, sih. Tapi saya tertarik dengan bidang psikologi dan komunikasi. Jadi, saya sempat ‘ngayal’,  lucu juga kali ya kalau jadi guru bimbingan konseling atau BK. Tapi, kenyataannya, jauh lebih lucu. Bahwa saya mendapatkan konseling justru dari guru matematika saya yang berlabel 'killer' saat saya masih duduk di bangku SMP, bukan dari guru BK saya. 

Guru matematika saya telah berpulang selamanya sejak saya kuliah (semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT). Ada kesan yang tertinggal selepas itu. Bahwa ia memberikan jejak samar dalam cara saya mengambil keputusan. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang saya senangi, tapi sangat dipengaruhi oleh cara guru mengajar. Saat itu, beliau (alm.) pun tidak memiliki cara yang istimewa dalam mengajar para siswanya. Hanya berbekal papan tulis dan kapur, menggoreskan angka, memberi solusi singkat, lalu memberi tugas kami menyelesaikan sederet soal matematika yang tidak semuanya mudah. Bukan tipikal yang akrab dengan siswa-siswanya. Tipikal pemikir yang cocok dengan bidangnya waktu itu, matematika. Otomatis, saya pun biasa saja. Saya pun beberapa kali izin tidak ikut mata pelajaran beliau untuk latihan basket menjelang kompetisi. 

Semua berjalan datar. Hingga akhirnya, menjelang waktu Ujian Akhir Nasional, saya dipanggil ke meja beliau saat teman-teman saya sibuk bekerja sama menyelesaikan tugas kelompok. Bicara empat mata. Saya ditegur karena nilai saya hampir dibawah rata-rata, apalagi mata pelajaran matematika!

Ternyata beliau memperhatikan catatan akademik saya. Terdiam. Terheran. Dan saya tak menyangka.

Saya tidak tahu banyak tentang kamu. Tapi, kamu cukup aktif di sekolah ikut ini-itu. Sekarang kamu ikut tim basket sekolah. Saya pikir sebaiknya kamu pilah kegiatan mana yang tidak mengganggu jadwal belajar kamu, kalau kamu kesulitan membagi waktu. Kamu tidak bisa jalani semuanya dan kepingin semuanya. Saya cuma mau kamu meningkatkan nilaimu agar kamu bisa bersaing dengan teman-temanmu yang lain.

Itu adalah sepenggal kalimat (atau nasehat) yang saya ingat. Tidak sama sekali menggugah. Tapi, seperti beliau bisa membaca pikiran saya dan saya sedikit tercubit. Saya tidak diabaikan olehnya. Guru yang memperhatikan progres anak didiknya. Beliau tidak menilai dengan sekadar angka, padahal ratusan rumus selalu memenuhi kepalanya.

Ego saya yang biasanya naik, jadi layu. Saya diingatkan untuk berlatih membuat pilihan dalam hidup. Selain logika, ada rasa. Karena ada sebab, ada akibat. Saya tidak dipandang muda oleh beliau dapat membuat pilihan.

Kedekatan antara guru dan muridnya, bukanlah sesuatu yang jamak ditemukan di sekolah. Begitupun saat di perguruan tinggi. Hubungan personal antara guru dan murid, susah-susah gampang. Bagi saya, seorang guru di luar kelas dan guru didalam kelas itu sama. Guru bukan profesi, tapi watak. Tapi pengabdian. Jadi, dimanapun seorang guru memainkan perannya dalam kehidupan sosial, ia tetaplah seorang guru. Berpikiran terbuka, mau ikut belajar terhadap perubahan di sekelilingnya, bersedia terus menggali ilmu yang menjadi kompetensinya, dan mendengar.

Bahkan seorang guru pun harus mendengar muridnya. Mau tak mau, bapak ibu guru di kota besar, seperti Jakarta, adalah pengganti ayah ibu di rumah. Sadar atau tidak disadari, tanggung jawab dalam membimbing manusia dalam pertumbuhannya amatlah besar. Banyak celetukan guru yang saya ingat sebagai kalimat kutipan yang (menurut saya) ‘kena’. Diantaranya:

Guru agama SMP saya pernah berkata:
Jangan kelewatan mencintai cewek atau cowok karena itu bisa berbalik menjadi kamu benci sama dia. Begitu juga kamu jangan berlebihan membenci orang. Karena siapa tahu kamu jadi suka. Biasa saja. Tidak boleh berlebihan dalam bersikap.

Guru sejarah SMP saya pernah berujar:
Dalam keturunan, ia mewariskan gen maupun sifat dari kakek, nenek, ayah, ibunya. Hingga akhirnya membentuk dinasti. Bagus tidaknya dinasti itu, ditentukan oleh bagaimana keturunan yang ada di dinasti tersebut.”

Guru SD saya pernah menjelaskan:
Kutub magnet utara dan utara tidak akan ketemu karena sama. Kutub positif dan negatif baru bisa nempel. Manusia juga begitu. Kita berbeda, tapi menyatu.”

Di usia wajib belajar 12 tahun, apa yang kita serap kebanyakan dari kehidupan sekolah. Secara tak langsung kita terbentuk dari bagaimana pergaulan kita di sekolah, bagaimana seorang guru mengajar, menghibur teman menangis saat ia curhat tidak cukup biaya untuk masuk sekolah favoritnya, atau menahan diri untuk tidak menyontek saat ujian. Tak berlebihan, jika saya menyatakan kualitas pendidikan tak lepas dari kualitas para guru didalamnya. Bimbingan guru membekas mempengaruhi di setiap jenjang hidup kita. Ada mantan pacar, mantan bos, tapi tidak ada mantan guru.

Oh iya, ada satu keharuan ketika tahun lalu saya menyerahkan undangan pernikahan kepada Kepala Sekolah Dasar saya, yang tak lain adalah orang tua dari teman SD saya juga. Sambil mencium tangannya, beliau berkata sambil tertawa renyah,” Alhamdulillah, gak nyangka, si jangkung kriting ini akhirnya udah mau kawin.” :-)

No comments:

Post a Comment