Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri dari empat kata, baris pertama, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Bisa dikatakan bahwa pantun itu ibarat gula dan garam. Dalam praktik sehari-hari, pantun menjadi penyedap atau pemanis bahasa sebagai alat komunikasi. Puisi atau sajak, atau pantun, atau bentuk sastra nonprosa pada umumnya (gurindam, talibun, soneta, tersina, stansa, kwatrin, septima; asli maupun impor) sering dianggap sebagai pilar bahasa, atau sari-pati dari kebudayaan kata. Di dalamnya ada kekuatan magis dari kata dan bunyi. Karena itu, pantun sering dipakai untuk menenangkan massa, menyihir manusia, membungkam ular, memanggil hujan, bahkan mengantarkan arwah ke alam baka. Selain itu pantun juga berfungsi sebagai media pendidikan dan pencatat sejarah.
Apa yang membuat pantun menjadi populer? Sederhana saja. Pantun adalah properti publik, atau kekayaan masyarakat yang paling nyata. Ia bisa menyatukan, membuat banyak orang merasa punya kelompok dan kaya, meskipun hanya dalam kata-kata. Pantun yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi, bernilai seperti harta pusaka. Dalam banyak hal, warisan nonfisik yang dimiliki berbagai suku bangsa di Indonesia mungkin bisa memberi sedikit hiburan.Dengan kata lain, kalau mau melihat kebesaran masa lalu di negeri yang serba lisan, lihatlah pantun atau lagu-lagu rakyatnya. Pantun, sama seperti kerajinan terakota di zaman Majapahit, serba kecil, unik, tetapi mengisyaratkan kebesaran dan kemurahan hati atau kekayaan spiritual masyarakatnya. Ada pantun kentrung dari Jawa Timur, dendang pauah dan kato pusako dari Ranah Minang. Ada juga sastra lisan Saluan dari Sulawesi Tengah dan sastra lisan Lio dari Flores. Dalam upacara adat di beberapa daerah (Gorontalo, Bima, Minangkabau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali) juga selalu bertumpu pada puisi, khususnya pantun-pantun lokal. Yang paling banyak, tentu pantun Melayu.
Perkataan yang berkaitan sirih pinang banyak digunakan di dalam pantun, puisi, pepatah dan gurindam serta bidalan Melayu. Pantun merupakan puisi tradisi Melayu yang di dalamnya tersirat kehalusan budi dan ketajaman pikiran. Di dalam pantun mengandung sebuah pepatah, perumpamaan atau disebut juga, kata orang tua. Selain itu terkandung juga perkataan bijaksana menyangkut pengalaman hidup dan digunakan sebagai pembanding, tauladan, dan pengajaran.
Dalam kebudayaan Sunda, seni pantun adalah seni pertunjukan yang menampilkan sang juru pantun dengan cerita yang dibawakannya. Cerita tersebut disampaikan dengan cara ditembangkan yang diiringi perangkat kecapi pantun yang dimainkan oleh sang juru pantun. Pertunjukan ini hanya dilakukan oleh seorang saja, yakni sang juru pantun. Cerita-cerita yang dibawakannya biasanya berputar pada kisah kerajaan Pajajaran dan sekitarnya, serta mitos-mitos yang tersebar di masyarakat. Cerita pantun Sunda yang cukup terkenal di antaranya Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, serta Lutung Leutik.
Ada banyak permasalahan yang bisa diangkat dalam pantun, misalnya tentang kemanusiaan. Bahayanya, terkadang muncul pelecehan terhadap etnis, kurang sadar jender, dan perlu peningkatan wawasan multikultural. Pantun memang rawan terhadap pelesetan, lebih-lebih yang berbau fanatisme, humor fisik, dan eksploitasi lingkungan.
Berikut ini pantun karya Sutan Takdir Alisjahbana, "Di mana Tuan Di Sana Sahaya" :
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat
Begitu terus berlanjut sampai delapan bait. Pesannya tegas dan hanya satu: hubungan dekat yang terus-menerus diperjuangkan. Bait ke delapan atau yang terakhir pantun Melayu klasik itu berbunyi:
Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.
Sangat jelas bahwa sasaran setiap pantun adalah komunikasi intens dan mendalam di antara pemakai bahasa. Pantun diciptakan sebagai landasan, dermaga, atau jalan raya komunikasi manusia. Karena itu, salah satu hal yang paling esensial adalah khasiat pantun untuk memperdalam kesan. Hal yang paling sepele pun bisa lebih indah, mendalam, dan serius di dalam pantun. Sebaliknya, hal yang serius, berat, dan membebani bisa diperingan. Contohnya adalah pantun-pantun yang memberikan hiburan, pantun jenaka, teka-teki, dan permainan. Meskipun punya kemungkinan menyindir atau melecehkan, pantun pun bisa menjadi hiburan dan kritik simbolis. Pantun jenaka menyajikan humor-humor yang monumental dan tahan lama.
Dari mana datangnya lintah
Dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari mata jatuh ke hati
Atau sekadar contoh pantun-pantun yang sangat karikaturis. Misalnya:
Jual pepaya dengan kandil
Kandil buatan orang Inggris
Melihat buaya menyandang bedil
Sapi dan kerbau tegak berbaris.
Sekarang, merangkai pantun itu gampang-gampang susah. Tantangannya adalah bagaimana membuat keindahan bahasa tetap menarik di tengah derasnya idiom-idiom baru yang dilansir teknologi komunikasi dan ledakan informasi. Namun, bila mau bercermin pada pantun lama, resep bahwa akhir suku kata mesti a-b-a-b seyogyanya dipegang teguh. Yang tidak kurang pentingnya adalah jumlah suku kata yang berkisar 8-12 suku kata per baris juga harus diperhatikan. Keteraturan, kejernihan dalam berpikir, dan kecerdasan menggunakan kata-kata adalah modal utama bagi pencipta pantun yang baik.
Fungsi-fungsi pantun dan puisi konvensional pada umumnya cukup luas. Pertama adalah sebagai pengawal pola berpikir. Keteraturannya, pola, rima, dan estetikanya mendorong pemakai bahasa berhati-hati dalam bicara. Kita sering mendengar nasihat, pikir dulu sebelum bicara. Hal itu memang benar adanya. Maka, jangan heran kalau ada pendapat bahwa pantun bisa mendorong masyarakat berbicara lebih sopan, lebih berbudi pekerti.
Selain itu pantun juga menciptakan entitas kelompok dan memberikan memori kolektif. Di antaranya telah sering kita dengar dalam lagu-lagu, seperti Keroncong Kemayoran, Si Paku Gelang, Kicir-kicir, Dayung Sampan, Lenggang Kangkung, dan banyak lagi. Semua lagu berpantun itu memberikan peluang improvisasi seluas-luasnya. Artinya, pantun membuat rakyat leluasa berkreasi (menciptakan dunia) dengan bahasanya. Dari sanalah tercipta kebersamaan. Semakin sering ada kesempatan berpantun (baca: berkreasi), bisa diharapkan semakin kuat pertemanan atau persaudaraan. Syaratnya tentu diperlukan pantun-pantun bermutu. Bukan hanya komunikatif, tetapi juga menyentuh hati dan menawarkan harapan, atau kenangan bersama.
Dalam arsitektur kata-kata, pantun menjadi sebuah "borobudur mini" yang (semoga) akan terus dijaga dan dinikmati semua generasi, baik tua maupun muda. Betapa ruginya bangsa kita jika harta pusaka ini lenyap ditengah pamor budaya pop yang semakin menggurita. (AdeL)
*dari berbagai sumber
P.S: My first "hang-out" with that Solitaire-Man on no.1...
ReplyDeleteSolitaire....ngadah betis ky games solitaire ya...?
P.S: My first "hang-out" with that Solitaire-Man on no.1...
ReplyDeleteSolitaire....ngasah betis ky games solitaire ya...?
SELAMAT DATANG DI DUNIA LAJANG...!
ReplyDeleteBussst DeLL...mumpung lajang nulis nyang banyak...! kicer mata gw bacanya...!,
mumpung msh ngurusn diri sndiri..
salam kenal borobudur pantun gurindam mini
ReplyDeleteSalam Kenal dengan Borobudur Mini Itu Pantun, bisakah di uraikan
ReplyDeleteSalam Kenal dengan Borobudur Mini Itu Pantun, bisakah di uraikan
ReplyDelete