Tuesday, September 18, 2007

Ketemu Pram!!

Saya adalah gadis biasa di tengah dunia luar biasa. Tapi saya tetap memiliki hasrat terbesar bahwa saya ingin mengetahui isi dunia. Bukan pekerjaan gampang. Dunia terlalu kompleks untuk gadis simpel seperti saya. Lantas, apa yang bisa saya lakukan? Semenjak awal saya menyandang status sebagai mahasiswa, saya harus proaktif. Sampai pada perjalanan hidup saya berada di organisasi pers mahasiswa; Media Publica yang membawa saya berhadapan duduk semeja dengan seorang legenda. Legenda itu adalah Pramoedya.

Semua berawal dari ketidaksengajaan. Salah seorang senior organisasi itu mengajak saya dan dua teman seangkatan saya –yang masih jadi “anak baru”- menemui Pramoedya Ananta Toer langsung di rumahnya. Karena saya masih semangat-semangatnya menjadi mahasiswa dan senior itu sangat memuja Pram (begitu Pramoedya Ananta Toer biasa dipanggil), saya mau saja bolos kuliah demi menemui sastrawan besar ini. Toh, kesempatan ini sepertinya tidak akan datang dua kali. Soalnya, kata salah seorang teman saya yang ikut menemui Pram, Pramoedya Ananta Toer ini sudah tua banget. Mumpung masih hidup, begitu katanya.

Seminggu sebelum keberangkatan kami, saya membaca salah satu roman Pram; Midah Si Manis Bergigi Emas dan Gadis Pantai Dan setelah saya habis melahap kedua roman (yang sangat menyentuh) itu, saya mencari data-data di internet tentang Pram –siapa, apa, dan bagaimana dia. Nyali saya sempat ciut karena kami akan mewawancarai beliau. Bicara sastra, aha, itu saja kalau disuruh guru bahasa Indonesia dulu waktu masih pakai seragam. Saya lebih suka baca fiksi-fiksi terjemahan seperti novel karya Agatha Christie, Lima Sekawan, Meg Cabot, novel-novel teenlit, dan komik Doraemon (saya ragu apakah Pram menganggap itu semua juga karya sastra). Akhirnya, saya ngebut membaca karya-karya sastra sekaliber Ernest Hemingway –si peraih nobel sastra. Dengan maksud, agar saya tidak bego-bego amat kalau nanti diajak obrolin sastra. Tapi akhirnya, saya juga toh tidak mengerti.

Hari itu pun tiba. Berbekal rasa ingin tahu dan aji mumpung (mumpung diajak senior), kami mengarungi panas ibukota yang teriknya minta ampun. Lima orang, satu tujuan. Menemui sang legenda di Bojong Gede. Kami menempuh perjalanan kesana dengan menggunakan kereta listrik jurusan Bogor. Sedikit berlebihan memang. Tapi berhubung saya orang yang agak buta sastra (walau saya suka sekali dengan karya-karya A.A Navis dan Marah Rusli), saya manut saja. Pokoknya Pram legenda!

Sedikit tanya sana sini tentang daerah Bojong Gede, akhirnya sekitar jam 3 sore kami tiba di depan rumah sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah ini. Sifat kampungan saya muncul. Saya tidak tahan untuk mengucapkan kata, “Waaaaahhh!” ketika melihat suatu tempat yang luas. Bagaimana tidak. Rumahnya saja besar dan halamannya luas menghijau. Setelah menemui staf rumah tangga di rumahnya, kami dipersilahkan duduk di teras bersama seorang pria yang bekerja di penerbitan yang sering menerbitkan buku-buku Pram. Beberapa menit kemudian, sosok tua pun muncul dari dalam rumah dan menemui kami berenam seperti menyambut kawan lama. Umurnya sudah 80-an. Tubuh kurusnya dibalut kaus yang sudah agak lusuh dan memakai sarung.

“Sedang sibuk apa nih, Bung Pram?” tanya senior saya membuka percakapan setelah dipersilahkan duduk kembali.“Ah, tidak. Kesibukan saya cuma bakar sampah tiap hari di belakang rumah,” jawabnya santai. Melihat profilnya pertama kali waktu itu, dalam hati saya bertanya-tanya, kok bisa ya orang tua didepan saya ini menjadi nominasi nobel sastra berkali-kali?

Tiga puluh menit sudah berlalu dan lidah saya masih kelu. Saya masih terdiam diantara tujuh orang yang duduk mengelilingi meja. Karena saya tidak tahu harus bertanya apa. Gestur tubuh saya hanya mengangguk-anggukkan kepala, bibir yang tersenyum, dan mata yang tak lepas menatap sosok Pram. Namun, sesekali juga bertabrakan mata dengan kawan-kawan seangkatan saya dan kami saling menyadari bahwa,”Gak nyangka ya bisa sampai sini?” Sampai akhirnya Bung Pram (kami memanggilnya demikian waktu itu) duluan yang mencoba mengajak saya bicara.

“Lho, Mbak, kenapa temannya juga gak pake taplak kayak yang dipakai Mbak?” tanya Bung Pram yang menunjuk teman perempuan saya yang duduk disamping kiri saya. Saya dan teman saya yang ditunjuk Bung Pram langsung melotot. Tiga detik otak kami bekerja ekstra cepat menalar apa yang dibilang Bung Pram. Setelah itu kami berdua diikuti oleh tiga orang teman saya yang lain tertawa kecil. Ternyata maksud Bung Pram, kenapa teman perempuan saya yang duduk disamping kiri saya tidak mengenakan kerudung seperti saya yang berjilbab. Tapi Bung Pram malah menyebut kerudung saya “taplak”. Alhasil, atas nama tata krama saya hanya bisa menggerutu dalam hati. Untung Bung Pram jauh lebih tua dari saya.
Satu jam berlalu dengan kepulan asap rokok, segelas sirup cocopandan, dan obrolan-obrolan historis. Saya tidak menyangka di usia senjanya, Bung Pram seorang perokok berat. Dan dia sudah menghabiskan dua batang rokok selama kami mengobrol. Justru saya yang khawatir melihat Bung Pram seperti itu. Usut punya usut, ternyata Bung Pram rajin minum dua gelas kecil red wine tiap hari untuk menjaga kesehatan jantungnya.

Sore itu kami membicarakan begitu banyak hal. Usia tidak menjadi penghalang baginya untuk menceritakan kembali peristiwa yang sudah lama terjadi bahkan 40 tahun yang lalu. Itu karena beliau melatih otaknya dengan masih rajin menulis dan membaca, bahkan karya sastra sekarang, contohnya buku Saman karya Ayu Utami. Peristiwa-peristiwa pahit yang sempat dialaminya berpuluh-puluh tahun yang lalu juga seakan-akan baru terjadi kemarin. Bagaimana beliau mengenal Soekarno dengan baik, cap PKI yang menempel padanya di Orde Baru, pengasingannya di Pulau Buru, sampai beliau merasa terasing di tanah airnya sendiri karena karya-karyanya justru sangat diapresiasi di mancanegara (begitu saya melongok ke dalam rumah, dinding ruang tamunya dipenuhi piagam-piagam penghargaan internasional). Kisah hidupnya memang sangat menakjubkan.

“Kalian masih muda. Selagi masih muda, jangan sia-siakan kesempatan. Dan juga jaga kesehatan. Kamu ngerokok, nggak?” tanya Bung Pram kepada seorang teman pria saya.

“Oh, nggak kok, Pak.”

“Kalau ngerokok, harus rajin-rajin minum Vitamin C. Terus makan daging yang warnanya putih. Jangan daging merah. Nanti kamu tambah gendut!” ujar Bung Pram menasehati teman pria saya yang badannya memang subur. Yang dinasehati hanya bisa senyum-senyum dan mengangguk malu.

Kejadian dua tahun lalu itu masih membekas di kepala saya. Pria ramah kelahiran 8 Februari itu memberi pelajaran pada saya tentang keteguhan hati. Bahwa selama kita memiliki tekad, tak usah pedulikan kata dunia. Hal itu tercermin dari perilakunya yang agak tidak lazim; beliau tidak mau membaca dan memperbaiki hasil karyanya yang sudah selesai. Masa bodoh apa orang bilang tentang tulisannya. Sampai pada akhirnya pertemuan kami sore itu menjadi kisah klasik bagi gadis biasa seperti saya. Bung Pram wafat setahun kemudian setelah kami bertandang ke rumahnya. Satu pencapaian tersendiri bahwa saya pernah menemui seorang legenda. Rasanya bukan hal yang berlebihan jika saya menyebut beliau demikian.


No comments:

Post a Comment