Tuesday, September 18, 2007

“PDKT” ala Ilmu Komunikasi

Minggu lalu, saya bertemu dengan sahabat lama saya. Awalnya kami hanya mengobrol biasa layaknya perjumpaan sepasang kawan lama. Tapi, lama-lama jadi ajang curhat masalah pribadi, termasuk masalah romansa.

Rupanya dia sedang jatuh hati pada seorang mahasiswi yang sama-sama mengikuti kelas mata kuliah Nirmana di Teknik Arsitektur salah satu universitas di Jakarta. Kebetulan, dari dulu sahabat saya itu termasuk pria inferior jika menyangkut urusan seperti ini. Belum tahu dia kalau ilmu komunikasi juga bisa dimanfaatkan untuk pendekatan (bahasa gaulnya: PDKT). Maka, terjadilah percakapan lama karena saya berusaha “membagi” ilmu yang saya dapat di bangku kuliah kepadanya.

Dalam ilmu komunikasi yang menurut para ahli merupakan ilmu terapan terdapat berbagai teknik komunikasi. Salah satunya adalah teknik komunikasi persuasif. Saya memberitahu sahabat saya itu untuk mengaplikasikan teknik ini dalam “misi”-nya. Namun, teknik ini agak sulit dibandingkan dengan teknik komunikasi lainnya (komunikasi informatif, komunikasi instruktif, dan hubungan manusiawi) karena komunikasi persuasif bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku komunikan yang lebih menekankan pada kegiatan psikologis. Penekanan ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan antara persuasi dengan koersi. Walaupun sama-sama mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, tetapi persuasi dilakukan dengan halus, luwes, yang mengandung sifat-sifat manusiawi sehingga mengakibatkan kesadaran dan kerelaan yang disertai perasaan senang. Sedangkan koersi berupa perintah, instruksi, bahkan suap, pemerasan, dan boikot.

Agar komunikasi persuasif mencapai tujuan dan sasarannya, maka perlu dilakukan perencanaan yang matang. Yang harus diperhatikan adalah komponen-komponen ilmu komunikasi yaitu komunikator, pesan, media, dan komunikan. Seorang komunikator yang ciamik harus mempersiapkan berbagai hal. Komunikator harus terlebih dahulu melakukan komunikasi intrapersonal: berkomunikasi dengan diri sendiri, bertanya pada diri sendiri, untuk dijawab oleh diri sendiri. Siapa komunikan yang akan dijadikan sasaran? Untuk pertanyaan ini sahabat saya sangat yakin akan jawabannya. Jika benar seorang, apa pekerjaannya, hobinya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas sangat bergantung pada pemakaian media yang harus dipilih dari sekian banyak media. Untuk masalah ini, sahabat saya memilih salah satu media nirmassa yaitu telepon. Bila semua sudah beres, tinggal bagaimana menata pesan yang akan disampaikan agar mencapai tujuan yang diinginkan.
Namun sebelum melangkah lebih jauh, saya harus meyakinkan sahabat saya itu bahwa seorang komunikator harus berbicara dan membahas suatu topik dengan menunjukkan kesungguhan sehingga komunikan percaya terhadap apa yang dikatakannya. Bisa juga menyelipkan suatu humor. Seperti Winston Churcill -mantan Presiden Amerika Serikat- yang dikenal sebagai ahli pidato. Ia biasa menyisipkan humor kedalam pidato-pidatonya semasa Perang Dunia II, tetapi ia selalu berupaya agar menimbulkan kesan bahwa ia tetap serius dalam menghadapi masalah politik.

Selain itu, komunikator harus membawa kesan kepada komunikan bahwa ia berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Ia harus hati-hati untuk menghindarkan kata-kata yang mengarah kepada kecurigaan terhadap ketidaktulusan komunikator (sahabat saya itu langsung mengelak bahwa dia tulus “memandang” wanita itu tidak dari materi, tapi inner beauty. Bagus!). Ketenangan dalam penampilan dan dalam mengutarakan kata-kata juga faktor yang penting. Jika komunikator bersikap tenang, ia akan dapat mengorganisasikan pikiran, perasaan, dan hasil penginderaannya secara mantap dan terpadu. Keramahan dan kesederhanaan juga merupakan faktor penting karena jika komunikator bersikap ramah, komunikan akan simpati. Keramahan tidak berarti kelemahan, tapi pengekspresian sikap etis. Begitu pula kesederhanaan. Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal bersifat fisik, tapi juga dalam penggunaan bahasa sebagai alat penyaluran pikiran dan perasaan.

Kesederhanaan seringkali menunjukkan keaslian dan kemurnian sikap. Contohnya Bung Hatta. Semasa berperan sebagai pemimpin bangsa Indonesia, sejak menjadi mahasiswa, wakil presiden, dan sampai akhir hayatnya, mulai dari pakaian, perilaku, sampai pengucapan kata-kata, semuanya sederhana. Pakaian tidak dilebih-lebihkan, perilaku menunjukkan keteladanan, dan ketika berbicara dalam segala situasi komunikasi, tidak menggunakan kata-kata yang muluk dan ingkar dari realitas.

Ada tiga cara dalam menata pesan yang akan disampaikan. Pertama, teknik asosiasi, yaitu dengan cara menumpangkan penyajian pesan pada objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Misalnya, dalam suatu kampanye pemilihan umum, ketenaran band Slank yang mempunyai banyak massa digunakan suatu partai politik untuk merebut hati rakyat. Kedua, teknik integrasi. Ini berarti bahwa, melalui kata-kata verbal maupun nonverbal, komunikator menggambarkan bahwa ia “senasib” -dan karena itu menjadi satu- dengan komunikan yang mengandung makna bahwa yang diperjuangkan komunikator bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan komunikan. Teknik integrasi ini ternyata juga digunakan oleh tentara Amerika Serikat. Pada atribut seragam tentara yang biasanya dipasang di kerah jas, bukan inisial USA, melainkan US, yang bermakna selain United States, juga pronoun dari “we” atau kita. Maksudnya bahwa tentara Amerika Serikat adalah tentara kita, tentara rakyat. Ketiga, teknik ganjaran (pay off technique), adalah kegiatan dengan cara mengiming-iming hal yang menguntungkan atau menjanjikan harapan.

Teknik ini lawannya adalah fear arousing technique, yang bersifat menakut-nakuti atau menggambarkan resiko yang buruk. Dalam kampanye Keluarga Berencana sering menggunakan kedua teknik ini. Pay off technique menunjukkan betapa bahagianya memiliki dua anak saja, sedangkan fear arousing technique memperlihatkan betapa repotnya sebuah keluarga yang beranak banyak. Keempat, teknik tataan (icing, baca: aising), adalah seni menata pesan dengan emotional appeal sedemikian rupa, sehingga komunikan menjadi tertarik perhatiannya. Bisa dianalogikan dengan kue yang baru dikeluarkan dari panggangan yang ditata dengan lapisan gula warna-warni sehingga kue yang tadinya tidak menarik menjadi indah dan memikat. Dalam hubungan ini komunikator mempertaruhkan kepercayaan komunikan terhadap fakta pesan yang disampaikan. Kelima, teknik red-herring. Seninya teknik ini adalah meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah kemudian dijadikan untuk menyerang lawan. Bagi seorang diplomat atau tokoh politik ini sangat penting untuk mempertahankan diri atau menyerang secara diplomatis. Tentunya sebelum terjun ke arena dengan menggunakan teknik ini, komunikator harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang.

Demi berhasilnya komunikasi persuasif, perlu dilaksanakan secara sistematis. Ada suatu formula yang biasa disebut AIDDA yang dijadikan landasan pelaksanaan. AIDDA adalah singkatan dari Attention (perhatian), Interest (Minat), Desire (Hasrat), Decision (Keputusan), dan Action (Aksi). Berdasarkan formula tersebut, dalam melakukan kegiatan itu dimulai dengan menumbuhkan perhatian. Senyum yang tersungging di wajah yang cerah juga sudah cukup menimbulkan perhatian komunikan. Bila perhatian sudah berhasil dibangkitkan, selanjutnya adalah menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan komunikan. Sebab itu, komunikator harus mengenal komunikannya. Tahap berikutnya adalah memunculkan hasrat pada komunikasi untuk melakukan ajakan, bujukan, atau rayuan komunikator. Disini emotional appeal perlu ditampilkan komunikator sehingga pada tahap berikutnya komunikan mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan atau aksi yang diharapkan komunikator.

Tata cara pentahapan komunikasi persuasif ini bisa diketahui hasilnya dalam beberapa saat, tapi sayangnya juga bisa bertahun-tahun. Akibat yang ditimbulkan juga bisa berdampak kognitif, afektif, dan atau behavioral. Jika berdampak kognitif, komunikan hanya mengetahui saja. Sedangkan dampak afektif, komunikan bukan hanya sekedar tahu, tapi tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

Terlepas dari percaya atau tidaknya sahabat saya itu terhadap penjelasan saya yang panjang lebar, yang jelas ini semua berdasarkan suatu ilmu yang kebenarannya telah diuji dan digeneralisasikan. Tidak sadar, langit sudah senja. Akhirnya kami harus berpamitan. Setidaknya, sahabat saya itu membawa wawasan baru. Semoga dia tidak menyesal karena memilih kuliah dijurusan yang bukan ilmu komunikasi ;)
(adhelya)


No comments:

Post a Comment