Tuesday, September 18, 2007

Biar Mereka Berpesta

Menunggu memang menyakitkan. Melupakan juga menyakitkan. Tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan adalah penderitaan yang paling menyakitkan. Ya, itu aku. Setiap hari aku begitu. Karena aku hanyalah benda berkaki empat yang manusia bilang kursi. Walau aku berlapis emas dan memiliki predikat istimewa, tetap saja aku hanya sebuah kursi. Dan hakikat kursi adalah menunggu. Menunggu sabar tawakal, tak mengeluh, tak ada gerutu menyembur keluar. Dan setiap setahun sekali seseorang entah siapa sekonyong-konyong duduk. Kadang orang yang sama, kadang berbeda.

Aku tetap menunggu di dalam ruangan besar ini. Ruang utama Istana Negeri Ang Nekir. Negeri kecil yang tandus dengan populasi padat. Sudah berpuluh-puluh tahun aku menjadi penghuni tetap di negeri berpenduduk ribuan orang ini. Rakyatnya hidup berkecukupan bahkan ada yang berlebihan. Ini disebabkan perdagangan di Ang Nekir maju pesat dan banyak bekerja sama dengan negeri-negeri makmur disekitarnya. Sektor ekonomi memang menjadi kekuatan di negeri ini.

Aku cukup senang berada di Ang Nekir karena aku menjadi, yah boleh dibilang, rebutan. Tubuhku dilapisi emas. Yang menduduki aku dijadikan panutan. Seorang presiden yang disorot ribuan orang. Namun, menjadi orang nomor satu di Ang Nekir tidaklah mudah. Malah, menurutku bukan sebuah prestise. Bukan sebuah hal yang patut disombongkan. Yah, kukira begitu. Tapi, apakah kalian percaya dengan penuturanku? Karena aku hanya sebuah kursi. Namun, yang harus kalian tahu, aku menjadi saksi bisu. Saksi bisu kebusukan dari para pemimpin yang rakus. Seperti seekor tikus.

Padahal pada zaman Nabi Muhammad saw, sahabat Nabi tidak gila pada sebuah jabatan jika ditunjuk menjadi seorang pemimpin. Malahan mereka mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun”. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Hal ini disebabkan mereka sangat takut tak mampu mengantarkan rakyat yang dipimpinnya ke surga.

Sekarang musim panas di Ang Nekir. Untuk sementara ini, aku kesepian. Karena aku berada di ruang utama istana tapi tanpa seorang presiden didalamnya. Yang dulu sudah lengser. Oh ya, presiden sebelumnya perempuan. Memang sekitar 70% perempuan mendiami negeri ini. Dan sudah dua periode aku menjadi sandaran para perempuan itu. Sayang, sentuhan para perempuan belum mampu menghidupkan suasana negeri ini. Semuanya masih statis. Seperti berjalan di tempat. Malahan dari sekian presiden ada yang mewarisi cerita memalukan di masa kepemimpinannya. Bukan seksis. Tapi memang begitulah adanya. Sungguh aku merasa bersalah mengapa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, apa daya. Aku hanya sebuah kursi.

Seperti biasa aku masih menunggu. Dari pembicaraan orang-orang di luar, aku tahu sekarang sedang ada pesta. Pesta? Ah, ya. Aku hampir lupa. Sudah saatnya pemilihan presiden baru. Berarti sekarang aku jadi rebutan lagi. Hahaha. Tapi siapa saja yang ingin menduduki aku? Sayang aku tidak bisa melihat mereka. Wajah baru atau lama? Atau wajah baru yang menjadi topeng wajah lama? Orang-orang itu bilang ini pesta demokrasi. Bebas menyatakan pendapat, bebas berpartisipasi dalam politik, bebas memilih apa yang mereka mau, dan bebas berekspresi. Bahkan mungkin bebas menjatuhkan lawan. Ups, awalnya memang bebas tapi ada batas. Namun yang ada malah bebas tak menghiraukan batas. Batas norma, batas etika, batas logika. Menjadi gregetan aku dibuatnya.

Apa yang salah dengan negeri ini? Rakyat hidup cukup dan mendapat pendidikan layak. Manusia intelektual pun ikut andil memajukan Ang Nekir. Sekilas memang baik. Sekelebat memang bagus. Namun, buka lebar mata dan telinga. Kesalahan itu seperti bakteri. Lihat dimikroskop dan akan terlihat jelas dimana boroknya. Kalau kamu peduli. Ya, kalau kamu, kita, dan mereka peduli dan mau memperbaikinya dengan itikad baik. Karena aku berada didalam ruangan ini bersama janji-janji para pemimpin itu. Tapi janji mereka entah kenapa menguap begitu saja. Kata orang itu politik. Semua menjadi legal dalam politik. Apapun menjadi berlian dalam politik, meski orang-orang itu sadar politik tak ubahnya kubangan lumpur.

Aku memang hanya sebuah kursi. Tapi aku cukup banyak tahu tentang manusia. Mengingat seluruh hidupku kuhabiskan untuk mereka. Dan sekarang segera aku akan memiliki "tuan" baru. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa tuanku itu akan menggunakan ketajaman otak, keberanian hatinya, dan segala pengetahuan yang dimilikinya untuk kebaikan rakyat dan kelestarian hidup di atas bumi Ang Nekir? Sebab tidak ada jaminan manusia brilian sekalipun mampu membesarkan hati nuraninya seperti dia mampu "membesarkan" otaknya. Bahkan ada banyak kisah orang-orang yang pintar menjadi sangat berbahaya bagi manusia lainnya jika mereka tidak memiliki nilai etis, tidak beradab, dan tidak berbudaya. Kalaupun orang-orang pintar itu tidak memegang kekuasaan, bisa saja mereka menjual ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan tertentu, baik itu kepentingan politik atau kekuasaan keuangan. Karena sampai hari ini pun puluhan ribu sarjana yang pintar-pintar bekerja untuk industri peperangan di seluruh dunia.

Jadi, aku masih harap-harap cemas menunggu. Apakah Presiden Ang Nekir-ku itu manusia etis atau manusia maha pintar? Dan jika pesta demokrasi itu hanya menjadi panggung sandiwara untuk meramaikan agenda tahunan negara, aku hanya bisa membiarkan mereka berpesta...
(adhelya)

*Ilustrasi verbal Pemira Ketua Senat Fikom UPDM (B) Oktober 2006


No comments:

Post a Comment