Oke, mau cari apa di Jakarta, Pak, Bu? Mau makan yang enak-enak? Jangan khawatir. Di Jakarta ini mau makan 3 M (murah, meriah, mencret), bisa. Mau makan mewah ala carte atau apalah itu namanya yang kebarat-baratan, juga tersedia. Makan di Jakarta itu murah dan enak bisa kita nikmati. Tidak seperti di London. Mau makan malam saja menghabiskan nominal poundsterling begitu banyak. Biaya makan malam memang London paling mahal disbanding negara lain. Di Jakarta, tidak usah bingung. Mau makan di pinggir jalan yang piringnya hanya dicuci dalam satu ember tanpa sabun atau makan di restoran mewah dengan table manner? Terserah pilihan anda (dan isi dompet anda tentunya).
Selanjutnya, masih seputar kota Jakarta yang bisa anda nikmati berbagai keunikan ragam budayanya. Museum Sejarah Jakarta yang dulu adalah gedung pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sampai cagar budaya Betawi di Setu Babakan. Dan jangan lupa mampir ke Kota Tua, “tempat pengasingan diri” buat yang lagi sumpek dengan modernisasi. Atau Ancol, Taman Mini, sampai Bliss, you name it, you got it!
Sampai ke tempat “WC Dadakan di Jalanan” ada juga di Jakarta. Ketidaktertiban penduduk Jakarta memang menjadi salah satu persoalan yang “menggemaskan” di Jakarta. Salah satunya adalah kawasan-kawasan ramai. Lihat dalam konteks tempat ramai yang menjadi pusat transportasi pada khususnya. Ada benang merah antara:
1. Terminal bis Senen
2. Pangkalan bajaj samping Gedung Sarinah
3. Pojok-pojok terminal bis Pulo Gadung, dan
4. Tempat-tempat mangkal angkot lainnya.
Bukan. Bukan polusi, bukan juga copet, atau pengamen. Ada aroma khas menguap dari aspal yang menjadi alas tempat-tempat tersebut,…ehm.., uhuk-uhuk, bau pesing..! Yang pertama terlintas di benak kita adalah pasti banyak yang pipis sembarangan di sini. Dan mereka itu..ups, para lelaki. Di sini mengindikasikan bahwa: ada kemalasan untuk menjaga kebersihan, atau ada minimnya fasilitas kebersihan di kota (sebesar) Jakarta.
Kedisiplinan memang menjadi salah satu akar yang tidak diterapkan pada diri penduduknya. Disiplin bersih masih sangat jauh dari harapan. Ambil generalisasi bahwa Jakarta kota yang kotor. Dibalik gedung-gedung pencakar langit yang kinclong, dibelakangnya ada tumpukan sampah dan bau pesing, bau amoniak penduduknya sendiri. Tidak perlu saling menyalahkan. Pemerintah yang tidak peduli dengan soal kebersihan atau penduduk yang tidak bisa menjaga kebersihan lingkungannya. Kita mulai dari diri sendiri saja. Soalnya kasihan Jakarta… Dia pusing lihat dirinya yang kotor. Tak apa menjadi orang sok bersih. Memang Jakarta kotor, lantas kenapa?
Tuesday, September 18, 2007
Biar Mereka Berpesta
Menunggu memang menyakitkan. Melupakan juga menyakitkan. Tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan adalah penderitaan yang paling menyakitkan. Ya, itu aku. Setiap hari aku begitu. Karena aku hanyalah benda berkaki empat yang manusia bilang kursi. Walau aku berlapis emas dan memiliki predikat istimewa, tetap saja aku hanya sebuah kursi. Dan hakikat kursi adalah menunggu. Menunggu sabar tawakal, tak mengeluh, tak ada gerutu menyembur keluar. Dan setiap setahun sekali seseorang entah siapa sekonyong-konyong duduk. Kadang orang yang sama, kadang berbeda.
Aku tetap menunggu di dalam ruangan besar ini. Ruang utama Istana Negeri Ang Nekir. Negeri kecil yang tandus dengan populasi padat. Sudah berpuluh-puluh tahun aku menjadi penghuni tetap di negeri berpenduduk ribuan orang ini. Rakyatnya hidup berkecukupan bahkan ada yang berlebihan. Ini disebabkan perdagangan di Ang Nekir maju pesat dan banyak bekerja sama dengan negeri-negeri makmur disekitarnya. Sektor ekonomi memang menjadi kekuatan di negeri ini.
Aku cukup senang berada di Ang Nekir karena aku menjadi, yah boleh dibilang, rebutan. Tubuhku dilapisi emas. Yang menduduki aku dijadikan panutan. Seorang presiden yang disorot ribuan orang. Namun, menjadi orang nomor satu di Ang Nekir tidaklah mudah. Malah, menurutku bukan sebuah prestise. Bukan sebuah hal yang patut disombongkan. Yah, kukira begitu. Tapi, apakah kalian percaya dengan penuturanku? Karena aku hanya sebuah kursi. Namun, yang harus kalian tahu, aku menjadi saksi bisu. Saksi bisu kebusukan dari para pemimpin yang rakus. Seperti seekor tikus.
Padahal pada zaman Nabi Muhammad saw, sahabat Nabi tidak gila pada sebuah jabatan jika ditunjuk menjadi seorang pemimpin. Malahan mereka mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun”. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Hal ini disebabkan mereka sangat takut tak mampu mengantarkan rakyat yang dipimpinnya ke surga.
Sekarang musim panas di Ang Nekir. Untuk sementara ini, aku kesepian. Karena aku berada di ruang utama istana tapi tanpa seorang presiden didalamnya. Yang dulu sudah lengser. Oh ya, presiden sebelumnya perempuan. Memang sekitar 70% perempuan mendiami negeri ini. Dan sudah dua periode aku menjadi sandaran para perempuan itu. Sayang, sentuhan para perempuan belum mampu menghidupkan suasana negeri ini. Semuanya masih statis. Seperti berjalan di tempat. Malahan dari sekian presiden ada yang mewarisi cerita memalukan di masa kepemimpinannya. Bukan seksis. Tapi memang begitulah adanya. Sungguh aku merasa bersalah mengapa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, apa daya. Aku hanya sebuah kursi.
Seperti biasa aku masih menunggu. Dari pembicaraan orang-orang di luar, aku tahu sekarang sedang ada pesta. Pesta? Ah, ya. Aku hampir lupa. Sudah saatnya pemilihan presiden baru. Berarti sekarang aku jadi rebutan lagi. Hahaha. Tapi siapa saja yang ingin menduduki aku? Sayang aku tidak bisa melihat mereka. Wajah baru atau lama? Atau wajah baru yang menjadi topeng wajah lama? Orang-orang itu bilang ini pesta demokrasi. Bebas menyatakan pendapat, bebas berpartisipasi dalam politik, bebas memilih apa yang mereka mau, dan bebas berekspresi. Bahkan mungkin bebas menjatuhkan lawan. Ups, awalnya memang bebas tapi ada batas. Namun yang ada malah bebas tak menghiraukan batas. Batas norma, batas etika, batas logika. Menjadi gregetan aku dibuatnya.
Apa yang salah dengan negeri ini? Rakyat hidup cukup dan mendapat pendidikan layak. Manusia intelektual pun ikut andil memajukan Ang Nekir. Sekilas memang baik. Sekelebat memang bagus. Namun, buka lebar mata dan telinga. Kesalahan itu seperti bakteri. Lihat dimikroskop dan akan terlihat jelas dimana boroknya. Kalau kamu peduli. Ya, kalau kamu, kita, dan mereka peduli dan mau memperbaikinya dengan itikad baik. Karena aku berada didalam ruangan ini bersama janji-janji para pemimpin itu. Tapi janji mereka entah kenapa menguap begitu saja. Kata orang itu politik. Semua menjadi legal dalam politik. Apapun menjadi berlian dalam politik, meski orang-orang itu sadar politik tak ubahnya kubangan lumpur.
Aku memang hanya sebuah kursi. Tapi aku cukup banyak tahu tentang manusia. Mengingat seluruh hidupku kuhabiskan untuk mereka. Dan sekarang segera aku akan memiliki "tuan" baru. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa tuanku itu akan menggunakan ketajaman otak, keberanian hatinya, dan segala pengetahuan yang dimilikinya untuk kebaikan rakyat dan kelestarian hidup di atas bumi Ang Nekir? Sebab tidak ada jaminan manusia brilian sekalipun mampu membesarkan hati nuraninya seperti dia mampu "membesarkan" otaknya. Bahkan ada banyak kisah orang-orang yang pintar menjadi sangat berbahaya bagi manusia lainnya jika mereka tidak memiliki nilai etis, tidak beradab, dan tidak berbudaya. Kalaupun orang-orang pintar itu tidak memegang kekuasaan, bisa saja mereka menjual ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan tertentu, baik itu kepentingan politik atau kekuasaan keuangan. Karena sampai hari ini pun puluhan ribu sarjana yang pintar-pintar bekerja untuk industri peperangan di seluruh dunia.
Jadi, aku masih harap-harap cemas menunggu. Apakah Presiden Ang Nekir-ku itu manusia etis atau manusia maha pintar? Dan jika pesta demokrasi itu hanya menjadi panggung sandiwara untuk meramaikan agenda tahunan negara, aku hanya bisa membiarkan mereka berpesta...
(adhelya)
*Ilustrasi verbal Pemira Ketua Senat Fikom UPDM (B) Oktober 2006
Aku tetap menunggu di dalam ruangan besar ini. Ruang utama Istana Negeri Ang Nekir. Negeri kecil yang tandus dengan populasi padat. Sudah berpuluh-puluh tahun aku menjadi penghuni tetap di negeri berpenduduk ribuan orang ini. Rakyatnya hidup berkecukupan bahkan ada yang berlebihan. Ini disebabkan perdagangan di Ang Nekir maju pesat dan banyak bekerja sama dengan negeri-negeri makmur disekitarnya. Sektor ekonomi memang menjadi kekuatan di negeri ini.
Aku cukup senang berada di Ang Nekir karena aku menjadi, yah boleh dibilang, rebutan. Tubuhku dilapisi emas. Yang menduduki aku dijadikan panutan. Seorang presiden yang disorot ribuan orang. Namun, menjadi orang nomor satu di Ang Nekir tidaklah mudah. Malah, menurutku bukan sebuah prestise. Bukan sebuah hal yang patut disombongkan. Yah, kukira begitu. Tapi, apakah kalian percaya dengan penuturanku? Karena aku hanya sebuah kursi. Namun, yang harus kalian tahu, aku menjadi saksi bisu. Saksi bisu kebusukan dari para pemimpin yang rakus. Seperti seekor tikus.
Padahal pada zaman Nabi Muhammad saw, sahabat Nabi tidak gila pada sebuah jabatan jika ditunjuk menjadi seorang pemimpin. Malahan mereka mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun”. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Hal ini disebabkan mereka sangat takut tak mampu mengantarkan rakyat yang dipimpinnya ke surga.
Sekarang musim panas di Ang Nekir. Untuk sementara ini, aku kesepian. Karena aku berada di ruang utama istana tapi tanpa seorang presiden didalamnya. Yang dulu sudah lengser. Oh ya, presiden sebelumnya perempuan. Memang sekitar 70% perempuan mendiami negeri ini. Dan sudah dua periode aku menjadi sandaran para perempuan itu. Sayang, sentuhan para perempuan belum mampu menghidupkan suasana negeri ini. Semuanya masih statis. Seperti berjalan di tempat. Malahan dari sekian presiden ada yang mewarisi cerita memalukan di masa kepemimpinannya. Bukan seksis. Tapi memang begitulah adanya. Sungguh aku merasa bersalah mengapa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, apa daya. Aku hanya sebuah kursi.
Seperti biasa aku masih menunggu. Dari pembicaraan orang-orang di luar, aku tahu sekarang sedang ada pesta. Pesta? Ah, ya. Aku hampir lupa. Sudah saatnya pemilihan presiden baru. Berarti sekarang aku jadi rebutan lagi. Hahaha. Tapi siapa saja yang ingin menduduki aku? Sayang aku tidak bisa melihat mereka. Wajah baru atau lama? Atau wajah baru yang menjadi topeng wajah lama? Orang-orang itu bilang ini pesta demokrasi. Bebas menyatakan pendapat, bebas berpartisipasi dalam politik, bebas memilih apa yang mereka mau, dan bebas berekspresi. Bahkan mungkin bebas menjatuhkan lawan. Ups, awalnya memang bebas tapi ada batas. Namun yang ada malah bebas tak menghiraukan batas. Batas norma, batas etika, batas logika. Menjadi gregetan aku dibuatnya.
Apa yang salah dengan negeri ini? Rakyat hidup cukup dan mendapat pendidikan layak. Manusia intelektual pun ikut andil memajukan Ang Nekir. Sekilas memang baik. Sekelebat memang bagus. Namun, buka lebar mata dan telinga. Kesalahan itu seperti bakteri. Lihat dimikroskop dan akan terlihat jelas dimana boroknya. Kalau kamu peduli. Ya, kalau kamu, kita, dan mereka peduli dan mau memperbaikinya dengan itikad baik. Karena aku berada didalam ruangan ini bersama janji-janji para pemimpin itu. Tapi janji mereka entah kenapa menguap begitu saja. Kata orang itu politik. Semua menjadi legal dalam politik. Apapun menjadi berlian dalam politik, meski orang-orang itu sadar politik tak ubahnya kubangan lumpur.
Aku memang hanya sebuah kursi. Tapi aku cukup banyak tahu tentang manusia. Mengingat seluruh hidupku kuhabiskan untuk mereka. Dan sekarang segera aku akan memiliki "tuan" baru. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa tuanku itu akan menggunakan ketajaman otak, keberanian hatinya, dan segala pengetahuan yang dimilikinya untuk kebaikan rakyat dan kelestarian hidup di atas bumi Ang Nekir? Sebab tidak ada jaminan manusia brilian sekalipun mampu membesarkan hati nuraninya seperti dia mampu "membesarkan" otaknya. Bahkan ada banyak kisah orang-orang yang pintar menjadi sangat berbahaya bagi manusia lainnya jika mereka tidak memiliki nilai etis, tidak beradab, dan tidak berbudaya. Kalaupun orang-orang pintar itu tidak memegang kekuasaan, bisa saja mereka menjual ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan tertentu, baik itu kepentingan politik atau kekuasaan keuangan. Karena sampai hari ini pun puluhan ribu sarjana yang pintar-pintar bekerja untuk industri peperangan di seluruh dunia.
Jadi, aku masih harap-harap cemas menunggu. Apakah Presiden Ang Nekir-ku itu manusia etis atau manusia maha pintar? Dan jika pesta demokrasi itu hanya menjadi panggung sandiwara untuk meramaikan agenda tahunan negara, aku hanya bisa membiarkan mereka berpesta...
(adhelya)
*Ilustrasi verbal Pemira Ketua Senat Fikom UPDM (B) Oktober 2006
Politik Ala Anak Muda Inggris
Belajar politik? Jangan bete dulu. Jangan juga membayangkan urusan yang berat, buku-buku tebal, dan masalah yang bikin bingung. Tahu nggak sih, ternyata belajar berpolitik bisa menguntungkan kita-kita. Setidaknya yang seperti ini pernah dialami oleh teman-teman kita dari Inggris: Emma Bierman (19), Laurent Sullivant (18), Alicia Kearns (18), dan Alex Sarrow (16).
Mereka ini adalah anggota United Kingdom Youth Parliament (UKYP). Biar masih berusia muda, 11-18 tahun, mereka ini ternyata sudah menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat. Tapi, berkat peran mereka jadi wakil rakyat, mereka berhasil menggolkan salah satu program mereka, yaitu bebas pungutan ongkos bus. Menarik? Pasti. Nah, mereka berempat yang datang atas undangan British Council dan dan didukung oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) serta Komite Anti Kekerasan (KAK) ini nih yang bakal berbagi pengalaman dengan kita-kita.
Ceritanya berawal dari adanya Youth Parliament Inggris (UKYP) atau Parlemen Muda. Seperti namanya, anggota parlemen ini memang anak-anak muda dan mereka juga mewakili anak muda seusia mereka. Anggota UKYP yang ada di Inggris, menurut Alex Sarrow, jumlahnya ada 400 orang. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Inggris. Gimana ceritanya sampai mereka bisa menggolkan program bebas ongkos bus, Alex, yang merupakan salah seorang anggota UKYP yang termuda, berkisah.
Kata cowok yang menjadi wakil dari Kota Glouchestreshire, sebelum duduk sebagai anggota UKYP, pelajar Cirencester College ini sangat merasa terganggu dengan tarif bus. Soalnya, tarif bus untuk pelajar dipatok sama dengan tarif untuk orang dewasa. `'Ini tidak adil. Seharusnya ada tarif khusus atau bus khusus untuk pelajar,'' ujar Alex. Soal tarif bus ini akhirnya menjadi isu yang diangkat Alex sebagai tema kampanyenya.
Jadi, kalau mau menjadi anggota UKYP, Alex maupun anak muda lainnya diwajibkan mengangkat isu tertentu untuk kampanye mereka. Dari isu yang mereka lontarkan itulah nantinya para anak muda memilihnya untuk kemudian menjadi wakil daerahnya yang duduk di UKYP. Kampanye ala Parlemen Muda Inggris ini memang beda dengan kampanye yang biasa dilakukan seperti di Indonesia. Meski melontarkan isu, mereka tidak perlu mengungkap jati dirinya, sehingga para pemilih sebetulnya tidak memilih orang. Statement yang mengangkat isu tertentu dan memperoleh suara terbanyaklah yang akhirnya bisa duduk sebagai wakil di Parlemen Muda Inggris ini.
Ternyata, isu yang dilontarkan Alex menarik perhatian remaja sono. Sebelum aturan tersebut digolkan pemerintah Inggris, para anggota Parlemen Muda ini harus mengumpulkan 15 ribu tanda tangan anak muda yang kemudian ditunjukkan kepada PM Inggris Tony Blair. Setelah itu, `'Mereka kemudian mendapat pengakuan pemerintah dan berlaku di dua daerah,'' ujar Mona Monica, manajer public relations British Council.
Selain Glouchestreshire, aturan tentang bebasnya pelajar dari ongkos angkutan bus juga telah berlaku di London. Alex sendiri berharap, aturan tentang bus gratis itu bukan hanya berlaku di Glouchestreshire dan London saja. `'Kita sedang berjuang agar semua wilayah di Inggris Raya pelajarnya tidak perlu membayar tarif bus,'' ujar Alex.
Selain bus gratis, isu lain yang sedang diperjuangkan anggota UKYP adalah hak memilih untuk anak usia 16 tahun, pelarangan intimidasi melalui internet, dan beberapa isu lain terkait persoalan remaja. Hak memilih untuk anak usia 16 tahun ini sedang giat-giatnya mereka kampanyekan dan perjuangkan, karena Pemilu di Inggris Raya sudah akan berlangsung beberapa bulan lagi.
Sedangkan untuk larangan melakukan intimidasi melalui internet, saat ini juga sedang dipikirkan anggota UKYP. Kata Alex, anak muda di Inggris banyak yang menggunakan internet maupun fasilitas SMS di telepon seluler untuk mencaci-maki, mengeluarkan hujatan, maupun intimidasi yang sangat kasar kepada orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu, UKYP sedang menggodok sebuah sistem atau aturan main agar hal seperti itu bisa dikurangi atau ditiadakan sama sekali.
Kehadiran UKYP ini memang melengkapi kerja anggota Parlemen Inggris Raya. Kehadiran mereka diakui oleh pemerintah Inggris, bahkan mendapat dukungan dana dari Pemerintah Inggris. Namun, lahirnya sebuah keputusan, selalu dijalankan mulai dari kawasan terkecil hingga ke tingkat lebih besar hingga akhirnya disetujui pemerintah. `'Jadi, mereka ini ibarat perpanjangan tangan pemerintah yang terorganisasi dengan baik,'' ujar Mona.
Ketika berkunjung ke Indonesia dan sempat berdialog dengan sejumlah teman-teman kita yang sebagian besar pelajar SMU, remaja Inggris ini sempat juga memberikan solusi tentang perkelahian pelajar. Soal itu, Alicia yang juga anggota UKYP mengajukan usul. Caranya, setiap sekolah dianjurkan membentuk satu tim olahraga di mana dalam tim tersebut berbaur semua sekolah. `'Jadi, bukan tim sekolah A melawan sekolah B, tapi dalam satu tim A dari dua sekolah melawan satu tim B yang anggotanya juga dari dua sekolah. Itulah pembaurannya,'' ujar Alicia.
Hmm, boleh juga...
Mereka ini adalah anggota United Kingdom Youth Parliament (UKYP). Biar masih berusia muda, 11-18 tahun, mereka ini ternyata sudah menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat. Tapi, berkat peran mereka jadi wakil rakyat, mereka berhasil menggolkan salah satu program mereka, yaitu bebas pungutan ongkos bus. Menarik? Pasti. Nah, mereka berempat yang datang atas undangan British Council dan dan didukung oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) serta Komite Anti Kekerasan (KAK) ini nih yang bakal berbagi pengalaman dengan kita-kita.
Ceritanya berawal dari adanya Youth Parliament Inggris (UKYP) atau Parlemen Muda. Seperti namanya, anggota parlemen ini memang anak-anak muda dan mereka juga mewakili anak muda seusia mereka. Anggota UKYP yang ada di Inggris, menurut Alex Sarrow, jumlahnya ada 400 orang. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Inggris. Gimana ceritanya sampai mereka bisa menggolkan program bebas ongkos bus, Alex, yang merupakan salah seorang anggota UKYP yang termuda, berkisah.
Kata cowok yang menjadi wakil dari Kota Glouchestreshire, sebelum duduk sebagai anggota UKYP, pelajar Cirencester College ini sangat merasa terganggu dengan tarif bus. Soalnya, tarif bus untuk pelajar dipatok sama dengan tarif untuk orang dewasa. `'Ini tidak adil. Seharusnya ada tarif khusus atau bus khusus untuk pelajar,'' ujar Alex. Soal tarif bus ini akhirnya menjadi isu yang diangkat Alex sebagai tema kampanyenya.
Jadi, kalau mau menjadi anggota UKYP, Alex maupun anak muda lainnya diwajibkan mengangkat isu tertentu untuk kampanye mereka. Dari isu yang mereka lontarkan itulah nantinya para anak muda memilihnya untuk kemudian menjadi wakil daerahnya yang duduk di UKYP. Kampanye ala Parlemen Muda Inggris ini memang beda dengan kampanye yang biasa dilakukan seperti di Indonesia. Meski melontarkan isu, mereka tidak perlu mengungkap jati dirinya, sehingga para pemilih sebetulnya tidak memilih orang. Statement yang mengangkat isu tertentu dan memperoleh suara terbanyaklah yang akhirnya bisa duduk sebagai wakil di Parlemen Muda Inggris ini.
Ternyata, isu yang dilontarkan Alex menarik perhatian remaja sono. Sebelum aturan tersebut digolkan pemerintah Inggris, para anggota Parlemen Muda ini harus mengumpulkan 15 ribu tanda tangan anak muda yang kemudian ditunjukkan kepada PM Inggris Tony Blair. Setelah itu, `'Mereka kemudian mendapat pengakuan pemerintah dan berlaku di dua daerah,'' ujar Mona Monica, manajer public relations British Council.
Selain Glouchestreshire, aturan tentang bebasnya pelajar dari ongkos angkutan bus juga telah berlaku di London. Alex sendiri berharap, aturan tentang bus gratis itu bukan hanya berlaku di Glouchestreshire dan London saja. `'Kita sedang berjuang agar semua wilayah di Inggris Raya pelajarnya tidak perlu membayar tarif bus,'' ujar Alex.
Selain bus gratis, isu lain yang sedang diperjuangkan anggota UKYP adalah hak memilih untuk anak usia 16 tahun, pelarangan intimidasi melalui internet, dan beberapa isu lain terkait persoalan remaja. Hak memilih untuk anak usia 16 tahun ini sedang giat-giatnya mereka kampanyekan dan perjuangkan, karena Pemilu di Inggris Raya sudah akan berlangsung beberapa bulan lagi.
Sedangkan untuk larangan melakukan intimidasi melalui internet, saat ini juga sedang dipikirkan anggota UKYP. Kata Alex, anak muda di Inggris banyak yang menggunakan internet maupun fasilitas SMS di telepon seluler untuk mencaci-maki, mengeluarkan hujatan, maupun intimidasi yang sangat kasar kepada orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu, UKYP sedang menggodok sebuah sistem atau aturan main agar hal seperti itu bisa dikurangi atau ditiadakan sama sekali.
Kehadiran UKYP ini memang melengkapi kerja anggota Parlemen Inggris Raya. Kehadiran mereka diakui oleh pemerintah Inggris, bahkan mendapat dukungan dana dari Pemerintah Inggris. Namun, lahirnya sebuah keputusan, selalu dijalankan mulai dari kawasan terkecil hingga ke tingkat lebih besar hingga akhirnya disetujui pemerintah. `'Jadi, mereka ini ibarat perpanjangan tangan pemerintah yang terorganisasi dengan baik,'' ujar Mona.
Ketika berkunjung ke Indonesia dan sempat berdialog dengan sejumlah teman-teman kita yang sebagian besar pelajar SMU, remaja Inggris ini sempat juga memberikan solusi tentang perkelahian pelajar. Soal itu, Alicia yang juga anggota UKYP mengajukan usul. Caranya, setiap sekolah dianjurkan membentuk satu tim olahraga di mana dalam tim tersebut berbaur semua sekolah. `'Jadi, bukan tim sekolah A melawan sekolah B, tapi dalam satu tim A dari dua sekolah melawan satu tim B yang anggotanya juga dari dua sekolah. Itulah pembaurannya,'' ujar Alicia.
Hmm, boleh juga...
Ketemu Pram!!
Saya adalah gadis biasa di tengah dunia luar biasa. Tapi saya tetap memiliki hasrat terbesar bahwa saya ingin mengetahui isi dunia. Bukan pekerjaan gampang. Dunia terlalu kompleks untuk gadis simpel seperti saya. Lantas, apa yang bisa saya lakukan? Semenjak awal saya menyandang status sebagai mahasiswa, saya harus proaktif. Sampai pada perjalanan hidup saya berada di organisasi pers mahasiswa; Media Publica yang membawa saya berhadapan duduk semeja dengan seorang legenda. Legenda itu adalah Pramoedya.
Semua berawal dari ketidaksengajaan. Salah seorang senior organisasi itu mengajak saya dan dua teman seangkatan saya –yang masih jadi “anak baru”- menemui Pramoedya Ananta Toer langsung di rumahnya. Karena saya masih semangat-semangatnya menjadi mahasiswa dan senior itu sangat memuja Pram (begitu Pramoedya Ananta Toer biasa dipanggil), saya mau saja bolos kuliah demi menemui sastrawan besar ini. Toh, kesempatan ini sepertinya tidak akan datang dua kali. Soalnya, kata salah seorang teman saya yang ikut menemui Pram, Pramoedya Ananta Toer ini sudah tua banget. Mumpung masih hidup, begitu katanya.
Seminggu sebelum keberangkatan kami, saya membaca salah satu roman Pram; Midah Si Manis Bergigi Emas dan Gadis Pantai Dan setelah saya habis melahap kedua roman (yang sangat menyentuh) itu, saya mencari data-data di internet tentang Pram –siapa, apa, dan bagaimana dia. Nyali saya sempat ciut karena kami akan mewawancarai beliau. Bicara sastra, aha, itu saja kalau disuruh guru bahasa Indonesia dulu waktu masih pakai seragam. Saya lebih suka baca fiksi-fiksi terjemahan seperti novel karya Agatha Christie, Lima Sekawan, Meg Cabot, novel-novel teenlit, dan komik Doraemon (saya ragu apakah Pram menganggap itu semua juga karya sastra). Akhirnya, saya ngebut membaca karya-karya sastra sekaliber Ernest Hemingway –si peraih nobel sastra. Dengan maksud, agar saya tidak bego-bego amat kalau nanti diajak obrolin sastra. Tapi akhirnya, saya juga toh tidak mengerti.
Hari itu pun tiba. Berbekal rasa ingin tahu dan aji mumpung (mumpung diajak senior), kami mengarungi panas ibukota yang teriknya minta ampun. Lima orang, satu tujuan. Menemui sang legenda di Bojong Gede. Kami menempuh perjalanan kesana dengan menggunakan kereta listrik jurusan Bogor. Sedikit berlebihan memang. Tapi berhubung saya orang yang agak buta sastra (walau saya suka sekali dengan karya-karya A.A Navis dan Marah Rusli), saya manut saja. Pokoknya Pram legenda!
Sedikit tanya sana sini tentang daerah Bojong Gede, akhirnya sekitar jam 3 sore kami tiba di depan rumah sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah ini. Sifat kampungan saya muncul. Saya tidak tahan untuk mengucapkan kata, “Waaaaahhh!” ketika melihat suatu tempat yang luas. Bagaimana tidak. Rumahnya saja besar dan halamannya luas menghijau. Setelah menemui staf rumah tangga di rumahnya, kami dipersilahkan duduk di teras bersama seorang pria yang bekerja di penerbitan yang sering menerbitkan buku-buku Pram. Beberapa menit kemudian, sosok tua pun muncul dari dalam rumah dan menemui kami berenam seperti menyambut kawan lama. Umurnya sudah 80-an. Tubuh kurusnya dibalut kaus yang sudah agak lusuh dan memakai sarung.
“Sedang sibuk apa nih, Bung Pram?” tanya senior saya membuka percakapan setelah dipersilahkan duduk kembali.“Ah, tidak. Kesibukan saya cuma bakar sampah tiap hari di belakang rumah,” jawabnya santai. Melihat profilnya pertama kali waktu itu, dalam hati saya bertanya-tanya, kok bisa ya orang tua didepan saya ini menjadi nominasi nobel sastra berkali-kali?
Tiga puluh menit sudah berlalu dan lidah saya masih kelu. Saya masih terdiam diantara tujuh orang yang duduk mengelilingi meja. Karena saya tidak tahu harus bertanya apa. Gestur tubuh saya hanya mengangguk-anggukkan kepala, bibir yang tersenyum, dan mata yang tak lepas menatap sosok Pram. Namun, sesekali juga bertabrakan mata dengan kawan-kawan seangkatan saya dan kami saling menyadari bahwa,”Gak nyangka ya bisa sampai sini?” Sampai akhirnya Bung Pram (kami memanggilnya demikian waktu itu) duluan yang mencoba mengajak saya bicara.
“Lho, Mbak, kenapa temannya juga gak pake taplak kayak yang dipakai Mbak?” tanya Bung Pram yang menunjuk teman perempuan saya yang duduk disamping kiri saya. Saya dan teman saya yang ditunjuk Bung Pram langsung melotot. Tiga detik otak kami bekerja ekstra cepat menalar apa yang dibilang Bung Pram. Setelah itu kami berdua diikuti oleh tiga orang teman saya yang lain tertawa kecil. Ternyata maksud Bung Pram, kenapa teman perempuan saya yang duduk disamping kiri saya tidak mengenakan kerudung seperti saya yang berjilbab. Tapi Bung Pram malah menyebut kerudung saya “taplak”. Alhasil, atas nama tata krama saya hanya bisa menggerutu dalam hati. Untung Bung Pram jauh lebih tua dari saya.
Satu jam berlalu dengan kepulan asap rokok, segelas sirup cocopandan, dan obrolan-obrolan historis. Saya tidak menyangka di usia senjanya, Bung Pram seorang perokok berat. Dan dia sudah menghabiskan dua batang rokok selama kami mengobrol. Justru saya yang khawatir melihat Bung Pram seperti itu. Usut punya usut, ternyata Bung Pram rajin minum dua gelas kecil red wine tiap hari untuk menjaga kesehatan jantungnya.
Sore itu kami membicarakan begitu banyak hal. Usia tidak menjadi penghalang baginya untuk menceritakan kembali peristiwa yang sudah lama terjadi bahkan 40 tahun yang lalu. Itu karena beliau melatih otaknya dengan masih rajin menulis dan membaca, bahkan karya sastra sekarang, contohnya buku Saman karya Ayu Utami. Peristiwa-peristiwa pahit yang sempat dialaminya berpuluh-puluh tahun yang lalu juga seakan-akan baru terjadi kemarin. Bagaimana beliau mengenal Soekarno dengan baik, cap PKI yang menempel padanya di Orde Baru, pengasingannya di Pulau Buru, sampai beliau merasa terasing di tanah airnya sendiri karena karya-karyanya justru sangat diapresiasi di mancanegara (begitu saya melongok ke dalam rumah, dinding ruang tamunya dipenuhi piagam-piagam penghargaan internasional). Kisah hidupnya memang sangat menakjubkan.
“Kalian masih muda. Selagi masih muda, jangan sia-siakan kesempatan. Dan juga jaga kesehatan. Kamu ngerokok, nggak?” tanya Bung Pram kepada seorang teman pria saya.
“Oh, nggak kok, Pak.”
“Kalau ngerokok, harus rajin-rajin minum Vitamin C. Terus makan daging yang warnanya putih. Jangan daging merah. Nanti kamu tambah gendut!” ujar Bung Pram menasehati teman pria saya yang badannya memang subur. Yang dinasehati hanya bisa senyum-senyum dan mengangguk malu.
Kejadian dua tahun lalu itu masih membekas di kepala saya. Pria ramah kelahiran 8 Februari itu memberi pelajaran pada saya tentang keteguhan hati. Bahwa selama kita memiliki tekad, tak usah pedulikan kata dunia. Hal itu tercermin dari perilakunya yang agak tidak lazim; beliau tidak mau membaca dan memperbaiki hasil karyanya yang sudah selesai. Masa bodoh apa orang bilang tentang tulisannya. Sampai pada akhirnya pertemuan kami sore itu menjadi kisah klasik bagi gadis biasa seperti saya. Bung Pram wafat setahun kemudian setelah kami bertandang ke rumahnya. Satu pencapaian tersendiri bahwa saya pernah menemui seorang legenda. Rasanya bukan hal yang berlebihan jika saya menyebut beliau demikian.
Semua berawal dari ketidaksengajaan. Salah seorang senior organisasi itu mengajak saya dan dua teman seangkatan saya –yang masih jadi “anak baru”- menemui Pramoedya Ananta Toer langsung di rumahnya. Karena saya masih semangat-semangatnya menjadi mahasiswa dan senior itu sangat memuja Pram (begitu Pramoedya Ananta Toer biasa dipanggil), saya mau saja bolos kuliah demi menemui sastrawan besar ini. Toh, kesempatan ini sepertinya tidak akan datang dua kali. Soalnya, kata salah seorang teman saya yang ikut menemui Pram, Pramoedya Ananta Toer ini sudah tua banget. Mumpung masih hidup, begitu katanya.
Seminggu sebelum keberangkatan kami, saya membaca salah satu roman Pram; Midah Si Manis Bergigi Emas dan Gadis Pantai Dan setelah saya habis melahap kedua roman (yang sangat menyentuh) itu, saya mencari data-data di internet tentang Pram –siapa, apa, dan bagaimana dia. Nyali saya sempat ciut karena kami akan mewawancarai beliau. Bicara sastra, aha, itu saja kalau disuruh guru bahasa Indonesia dulu waktu masih pakai seragam. Saya lebih suka baca fiksi-fiksi terjemahan seperti novel karya Agatha Christie, Lima Sekawan, Meg Cabot, novel-novel teenlit, dan komik Doraemon (saya ragu apakah Pram menganggap itu semua juga karya sastra). Akhirnya, saya ngebut membaca karya-karya sastra sekaliber Ernest Hemingway –si peraih nobel sastra. Dengan maksud, agar saya tidak bego-bego amat kalau nanti diajak obrolin sastra. Tapi akhirnya, saya juga toh tidak mengerti.
Hari itu pun tiba. Berbekal rasa ingin tahu dan aji mumpung (mumpung diajak senior), kami mengarungi panas ibukota yang teriknya minta ampun. Lima orang, satu tujuan. Menemui sang legenda di Bojong Gede. Kami menempuh perjalanan kesana dengan menggunakan kereta listrik jurusan Bogor. Sedikit berlebihan memang. Tapi berhubung saya orang yang agak buta sastra (walau saya suka sekali dengan karya-karya A.A Navis dan Marah Rusli), saya manut saja. Pokoknya Pram legenda!
Sedikit tanya sana sini tentang daerah Bojong Gede, akhirnya sekitar jam 3 sore kami tiba di depan rumah sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah ini. Sifat kampungan saya muncul. Saya tidak tahan untuk mengucapkan kata, “Waaaaahhh!” ketika melihat suatu tempat yang luas. Bagaimana tidak. Rumahnya saja besar dan halamannya luas menghijau. Setelah menemui staf rumah tangga di rumahnya, kami dipersilahkan duduk di teras bersama seorang pria yang bekerja di penerbitan yang sering menerbitkan buku-buku Pram. Beberapa menit kemudian, sosok tua pun muncul dari dalam rumah dan menemui kami berenam seperti menyambut kawan lama. Umurnya sudah 80-an. Tubuh kurusnya dibalut kaus yang sudah agak lusuh dan memakai sarung.
“Sedang sibuk apa nih, Bung Pram?” tanya senior saya membuka percakapan setelah dipersilahkan duduk kembali.“Ah, tidak. Kesibukan saya cuma bakar sampah tiap hari di belakang rumah,” jawabnya santai. Melihat profilnya pertama kali waktu itu, dalam hati saya bertanya-tanya, kok bisa ya orang tua didepan saya ini menjadi nominasi nobel sastra berkali-kali?
Tiga puluh menit sudah berlalu dan lidah saya masih kelu. Saya masih terdiam diantara tujuh orang yang duduk mengelilingi meja. Karena saya tidak tahu harus bertanya apa. Gestur tubuh saya hanya mengangguk-anggukkan kepala, bibir yang tersenyum, dan mata yang tak lepas menatap sosok Pram. Namun, sesekali juga bertabrakan mata dengan kawan-kawan seangkatan saya dan kami saling menyadari bahwa,”Gak nyangka ya bisa sampai sini?” Sampai akhirnya Bung Pram (kami memanggilnya demikian waktu itu) duluan yang mencoba mengajak saya bicara.
“Lho, Mbak, kenapa temannya juga gak pake taplak kayak yang dipakai Mbak?” tanya Bung Pram yang menunjuk teman perempuan saya yang duduk disamping kiri saya. Saya dan teman saya yang ditunjuk Bung Pram langsung melotot. Tiga detik otak kami bekerja ekstra cepat menalar apa yang dibilang Bung Pram. Setelah itu kami berdua diikuti oleh tiga orang teman saya yang lain tertawa kecil. Ternyata maksud Bung Pram, kenapa teman perempuan saya yang duduk disamping kiri saya tidak mengenakan kerudung seperti saya yang berjilbab. Tapi Bung Pram malah menyebut kerudung saya “taplak”. Alhasil, atas nama tata krama saya hanya bisa menggerutu dalam hati. Untung Bung Pram jauh lebih tua dari saya.
Satu jam berlalu dengan kepulan asap rokok, segelas sirup cocopandan, dan obrolan-obrolan historis. Saya tidak menyangka di usia senjanya, Bung Pram seorang perokok berat. Dan dia sudah menghabiskan dua batang rokok selama kami mengobrol. Justru saya yang khawatir melihat Bung Pram seperti itu. Usut punya usut, ternyata Bung Pram rajin minum dua gelas kecil red wine tiap hari untuk menjaga kesehatan jantungnya.
Sore itu kami membicarakan begitu banyak hal. Usia tidak menjadi penghalang baginya untuk menceritakan kembali peristiwa yang sudah lama terjadi bahkan 40 tahun yang lalu. Itu karena beliau melatih otaknya dengan masih rajin menulis dan membaca, bahkan karya sastra sekarang, contohnya buku Saman karya Ayu Utami. Peristiwa-peristiwa pahit yang sempat dialaminya berpuluh-puluh tahun yang lalu juga seakan-akan baru terjadi kemarin. Bagaimana beliau mengenal Soekarno dengan baik, cap PKI yang menempel padanya di Orde Baru, pengasingannya di Pulau Buru, sampai beliau merasa terasing di tanah airnya sendiri karena karya-karyanya justru sangat diapresiasi di mancanegara (begitu saya melongok ke dalam rumah, dinding ruang tamunya dipenuhi piagam-piagam penghargaan internasional). Kisah hidupnya memang sangat menakjubkan.
“Kalian masih muda. Selagi masih muda, jangan sia-siakan kesempatan. Dan juga jaga kesehatan. Kamu ngerokok, nggak?” tanya Bung Pram kepada seorang teman pria saya.
“Oh, nggak kok, Pak.”
“Kalau ngerokok, harus rajin-rajin minum Vitamin C. Terus makan daging yang warnanya putih. Jangan daging merah. Nanti kamu tambah gendut!” ujar Bung Pram menasehati teman pria saya yang badannya memang subur. Yang dinasehati hanya bisa senyum-senyum dan mengangguk malu.
Kejadian dua tahun lalu itu masih membekas di kepala saya. Pria ramah kelahiran 8 Februari itu memberi pelajaran pada saya tentang keteguhan hati. Bahwa selama kita memiliki tekad, tak usah pedulikan kata dunia. Hal itu tercermin dari perilakunya yang agak tidak lazim; beliau tidak mau membaca dan memperbaiki hasil karyanya yang sudah selesai. Masa bodoh apa orang bilang tentang tulisannya. Sampai pada akhirnya pertemuan kami sore itu menjadi kisah klasik bagi gadis biasa seperti saya. Bung Pram wafat setahun kemudian setelah kami bertandang ke rumahnya. Satu pencapaian tersendiri bahwa saya pernah menemui seorang legenda. Rasanya bukan hal yang berlebihan jika saya menyebut beliau demikian.
“PDKT” ala Ilmu Komunikasi
Minggu lalu, saya bertemu dengan sahabat lama saya. Awalnya kami hanya mengobrol biasa layaknya perjumpaan sepasang kawan lama. Tapi, lama-lama jadi ajang curhat masalah pribadi, termasuk masalah romansa.
Rupanya dia sedang jatuh hati pada seorang mahasiswi yang sama-sama mengikuti kelas mata kuliah Nirmana di Teknik Arsitektur salah satu universitas di Jakarta. Kebetulan, dari dulu sahabat saya itu termasuk pria inferior jika menyangkut urusan seperti ini. Belum tahu dia kalau ilmu komunikasi juga bisa dimanfaatkan untuk pendekatan (bahasa gaulnya: PDKT). Maka, terjadilah percakapan lama karena saya berusaha “membagi” ilmu yang saya dapat di bangku kuliah kepadanya.
Dalam ilmu komunikasi yang menurut para ahli merupakan ilmu terapan terdapat berbagai teknik komunikasi. Salah satunya adalah teknik komunikasi persuasif. Saya memberitahu sahabat saya itu untuk mengaplikasikan teknik ini dalam “misi”-nya. Namun, teknik ini agak sulit dibandingkan dengan teknik komunikasi lainnya (komunikasi informatif, komunikasi instruktif, dan hubungan manusiawi) karena komunikasi persuasif bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku komunikan yang lebih menekankan pada kegiatan psikologis. Penekanan ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan antara persuasi dengan koersi. Walaupun sama-sama mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, tetapi persuasi dilakukan dengan halus, luwes, yang mengandung sifat-sifat manusiawi sehingga mengakibatkan kesadaran dan kerelaan yang disertai perasaan senang. Sedangkan koersi berupa perintah, instruksi, bahkan suap, pemerasan, dan boikot.
Agar komunikasi persuasif mencapai tujuan dan sasarannya, maka perlu dilakukan perencanaan yang matang. Yang harus diperhatikan adalah komponen-komponen ilmu komunikasi yaitu komunikator, pesan, media, dan komunikan. Seorang komunikator yang ciamik harus mempersiapkan berbagai hal. Komunikator harus terlebih dahulu melakukan komunikasi intrapersonal: berkomunikasi dengan diri sendiri, bertanya pada diri sendiri, untuk dijawab oleh diri sendiri. Siapa komunikan yang akan dijadikan sasaran? Untuk pertanyaan ini sahabat saya sangat yakin akan jawabannya. Jika benar seorang, apa pekerjaannya, hobinya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas sangat bergantung pada pemakaian media yang harus dipilih dari sekian banyak media. Untuk masalah ini, sahabat saya memilih salah satu media nirmassa yaitu telepon. Bila semua sudah beres, tinggal bagaimana menata pesan yang akan disampaikan agar mencapai tujuan yang diinginkan.
Namun sebelum melangkah lebih jauh, saya harus meyakinkan sahabat saya itu bahwa seorang komunikator harus berbicara dan membahas suatu topik dengan menunjukkan kesungguhan sehingga komunikan percaya terhadap apa yang dikatakannya. Bisa juga menyelipkan suatu humor. Seperti Winston Churcill -mantan Presiden Amerika Serikat- yang dikenal sebagai ahli pidato. Ia biasa menyisipkan humor kedalam pidato-pidatonya semasa Perang Dunia II, tetapi ia selalu berupaya agar menimbulkan kesan bahwa ia tetap serius dalam menghadapi masalah politik.
Selain itu, komunikator harus membawa kesan kepada komunikan bahwa ia berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Ia harus hati-hati untuk menghindarkan kata-kata yang mengarah kepada kecurigaan terhadap ketidaktulusan komunikator (sahabat saya itu langsung mengelak bahwa dia tulus “memandang” wanita itu tidak dari materi, tapi inner beauty. Bagus!). Ketenangan dalam penampilan dan dalam mengutarakan kata-kata juga faktor yang penting. Jika komunikator bersikap tenang, ia akan dapat mengorganisasikan pikiran, perasaan, dan hasil penginderaannya secara mantap dan terpadu. Keramahan dan kesederhanaan juga merupakan faktor penting karena jika komunikator bersikap ramah, komunikan akan simpati. Keramahan tidak berarti kelemahan, tapi pengekspresian sikap etis. Begitu pula kesederhanaan. Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal bersifat fisik, tapi juga dalam penggunaan bahasa sebagai alat penyaluran pikiran dan perasaan.
Kesederhanaan seringkali menunjukkan keaslian dan kemurnian sikap. Contohnya Bung Hatta. Semasa berperan sebagai pemimpin bangsa Indonesia, sejak menjadi mahasiswa, wakil presiden, dan sampai akhir hayatnya, mulai dari pakaian, perilaku, sampai pengucapan kata-kata, semuanya sederhana. Pakaian tidak dilebih-lebihkan, perilaku menunjukkan keteladanan, dan ketika berbicara dalam segala situasi komunikasi, tidak menggunakan kata-kata yang muluk dan ingkar dari realitas.
Ada tiga cara dalam menata pesan yang akan disampaikan. Pertama, teknik asosiasi, yaitu dengan cara menumpangkan penyajian pesan pada objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Misalnya, dalam suatu kampanye pemilihan umum, ketenaran band Slank yang mempunyai banyak massa digunakan suatu partai politik untuk merebut hati rakyat. Kedua, teknik integrasi. Ini berarti bahwa, melalui kata-kata verbal maupun nonverbal, komunikator menggambarkan bahwa ia “senasib” -dan karena itu menjadi satu- dengan komunikan yang mengandung makna bahwa yang diperjuangkan komunikator bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan komunikan. Teknik integrasi ini ternyata juga digunakan oleh tentara Amerika Serikat. Pada atribut seragam tentara yang biasanya dipasang di kerah jas, bukan inisial USA, melainkan US, yang bermakna selain United States, juga pronoun dari “we” atau kita. Maksudnya bahwa tentara Amerika Serikat adalah tentara kita, tentara rakyat. Ketiga, teknik ganjaran (pay off technique), adalah kegiatan dengan cara mengiming-iming hal yang menguntungkan atau menjanjikan harapan.
Teknik ini lawannya adalah fear arousing technique, yang bersifat menakut-nakuti atau menggambarkan resiko yang buruk. Dalam kampanye Keluarga Berencana sering menggunakan kedua teknik ini. Pay off technique menunjukkan betapa bahagianya memiliki dua anak saja, sedangkan fear arousing technique memperlihatkan betapa repotnya sebuah keluarga yang beranak banyak. Keempat, teknik tataan (icing, baca: aising), adalah seni menata pesan dengan emotional appeal sedemikian rupa, sehingga komunikan menjadi tertarik perhatiannya. Bisa dianalogikan dengan kue yang baru dikeluarkan dari panggangan yang ditata dengan lapisan gula warna-warni sehingga kue yang tadinya tidak menarik menjadi indah dan memikat. Dalam hubungan ini komunikator mempertaruhkan kepercayaan komunikan terhadap fakta pesan yang disampaikan. Kelima, teknik red-herring. Seninya teknik ini adalah meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah kemudian dijadikan untuk menyerang lawan. Bagi seorang diplomat atau tokoh politik ini sangat penting untuk mempertahankan diri atau menyerang secara diplomatis. Tentunya sebelum terjun ke arena dengan menggunakan teknik ini, komunikator harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang.
Demi berhasilnya komunikasi persuasif, perlu dilaksanakan secara sistematis. Ada suatu formula yang biasa disebut AIDDA yang dijadikan landasan pelaksanaan. AIDDA adalah singkatan dari Attention (perhatian), Interest (Minat), Desire (Hasrat), Decision (Keputusan), dan Action (Aksi). Berdasarkan formula tersebut, dalam melakukan kegiatan itu dimulai dengan menumbuhkan perhatian. Senyum yang tersungging di wajah yang cerah juga sudah cukup menimbulkan perhatian komunikan. Bila perhatian sudah berhasil dibangkitkan, selanjutnya adalah menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan komunikan. Sebab itu, komunikator harus mengenal komunikannya. Tahap berikutnya adalah memunculkan hasrat pada komunikasi untuk melakukan ajakan, bujukan, atau rayuan komunikator. Disini emotional appeal perlu ditampilkan komunikator sehingga pada tahap berikutnya komunikan mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan atau aksi yang diharapkan komunikator.
Tata cara pentahapan komunikasi persuasif ini bisa diketahui hasilnya dalam beberapa saat, tapi sayangnya juga bisa bertahun-tahun. Akibat yang ditimbulkan juga bisa berdampak kognitif, afektif, dan atau behavioral. Jika berdampak kognitif, komunikan hanya mengetahui saja. Sedangkan dampak afektif, komunikan bukan hanya sekedar tahu, tapi tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.
Terlepas dari percaya atau tidaknya sahabat saya itu terhadap penjelasan saya yang panjang lebar, yang jelas ini semua berdasarkan suatu ilmu yang kebenarannya telah diuji dan digeneralisasikan. Tidak sadar, langit sudah senja. Akhirnya kami harus berpamitan. Setidaknya, sahabat saya itu membawa wawasan baru. Semoga dia tidak menyesal karena memilih kuliah dijurusan yang bukan ilmu komunikasi ;)
(adhelya)
Rupanya dia sedang jatuh hati pada seorang mahasiswi yang sama-sama mengikuti kelas mata kuliah Nirmana di Teknik Arsitektur salah satu universitas di Jakarta. Kebetulan, dari dulu sahabat saya itu termasuk pria inferior jika menyangkut urusan seperti ini. Belum tahu dia kalau ilmu komunikasi juga bisa dimanfaatkan untuk pendekatan (bahasa gaulnya: PDKT). Maka, terjadilah percakapan lama karena saya berusaha “membagi” ilmu yang saya dapat di bangku kuliah kepadanya.
Dalam ilmu komunikasi yang menurut para ahli merupakan ilmu terapan terdapat berbagai teknik komunikasi. Salah satunya adalah teknik komunikasi persuasif. Saya memberitahu sahabat saya itu untuk mengaplikasikan teknik ini dalam “misi”-nya. Namun, teknik ini agak sulit dibandingkan dengan teknik komunikasi lainnya (komunikasi informatif, komunikasi instruktif, dan hubungan manusiawi) karena komunikasi persuasif bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku komunikan yang lebih menekankan pada kegiatan psikologis. Penekanan ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan antara persuasi dengan koersi. Walaupun sama-sama mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, tetapi persuasi dilakukan dengan halus, luwes, yang mengandung sifat-sifat manusiawi sehingga mengakibatkan kesadaran dan kerelaan yang disertai perasaan senang. Sedangkan koersi berupa perintah, instruksi, bahkan suap, pemerasan, dan boikot.
Agar komunikasi persuasif mencapai tujuan dan sasarannya, maka perlu dilakukan perencanaan yang matang. Yang harus diperhatikan adalah komponen-komponen ilmu komunikasi yaitu komunikator, pesan, media, dan komunikan. Seorang komunikator yang ciamik harus mempersiapkan berbagai hal. Komunikator harus terlebih dahulu melakukan komunikasi intrapersonal: berkomunikasi dengan diri sendiri, bertanya pada diri sendiri, untuk dijawab oleh diri sendiri. Siapa komunikan yang akan dijadikan sasaran? Untuk pertanyaan ini sahabat saya sangat yakin akan jawabannya. Jika benar seorang, apa pekerjaannya, hobinya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas sangat bergantung pada pemakaian media yang harus dipilih dari sekian banyak media. Untuk masalah ini, sahabat saya memilih salah satu media nirmassa yaitu telepon. Bila semua sudah beres, tinggal bagaimana menata pesan yang akan disampaikan agar mencapai tujuan yang diinginkan.
Namun sebelum melangkah lebih jauh, saya harus meyakinkan sahabat saya itu bahwa seorang komunikator harus berbicara dan membahas suatu topik dengan menunjukkan kesungguhan sehingga komunikan percaya terhadap apa yang dikatakannya. Bisa juga menyelipkan suatu humor. Seperti Winston Churcill -mantan Presiden Amerika Serikat- yang dikenal sebagai ahli pidato. Ia biasa menyisipkan humor kedalam pidato-pidatonya semasa Perang Dunia II, tetapi ia selalu berupaya agar menimbulkan kesan bahwa ia tetap serius dalam menghadapi masalah politik.
Selain itu, komunikator harus membawa kesan kepada komunikan bahwa ia berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Ia harus hati-hati untuk menghindarkan kata-kata yang mengarah kepada kecurigaan terhadap ketidaktulusan komunikator (sahabat saya itu langsung mengelak bahwa dia tulus “memandang” wanita itu tidak dari materi, tapi inner beauty. Bagus!). Ketenangan dalam penampilan dan dalam mengutarakan kata-kata juga faktor yang penting. Jika komunikator bersikap tenang, ia akan dapat mengorganisasikan pikiran, perasaan, dan hasil penginderaannya secara mantap dan terpadu. Keramahan dan kesederhanaan juga merupakan faktor penting karena jika komunikator bersikap ramah, komunikan akan simpati. Keramahan tidak berarti kelemahan, tapi pengekspresian sikap etis. Begitu pula kesederhanaan. Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal bersifat fisik, tapi juga dalam penggunaan bahasa sebagai alat penyaluran pikiran dan perasaan.
Kesederhanaan seringkali menunjukkan keaslian dan kemurnian sikap. Contohnya Bung Hatta. Semasa berperan sebagai pemimpin bangsa Indonesia, sejak menjadi mahasiswa, wakil presiden, dan sampai akhir hayatnya, mulai dari pakaian, perilaku, sampai pengucapan kata-kata, semuanya sederhana. Pakaian tidak dilebih-lebihkan, perilaku menunjukkan keteladanan, dan ketika berbicara dalam segala situasi komunikasi, tidak menggunakan kata-kata yang muluk dan ingkar dari realitas.
Ada tiga cara dalam menata pesan yang akan disampaikan. Pertama, teknik asosiasi, yaitu dengan cara menumpangkan penyajian pesan pada objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Misalnya, dalam suatu kampanye pemilihan umum, ketenaran band Slank yang mempunyai banyak massa digunakan suatu partai politik untuk merebut hati rakyat. Kedua, teknik integrasi. Ini berarti bahwa, melalui kata-kata verbal maupun nonverbal, komunikator menggambarkan bahwa ia “senasib” -dan karena itu menjadi satu- dengan komunikan yang mengandung makna bahwa yang diperjuangkan komunikator bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan komunikan. Teknik integrasi ini ternyata juga digunakan oleh tentara Amerika Serikat. Pada atribut seragam tentara yang biasanya dipasang di kerah jas, bukan inisial USA, melainkan US, yang bermakna selain United States, juga pronoun dari “we” atau kita. Maksudnya bahwa tentara Amerika Serikat adalah tentara kita, tentara rakyat. Ketiga, teknik ganjaran (pay off technique), adalah kegiatan dengan cara mengiming-iming hal yang menguntungkan atau menjanjikan harapan.
Teknik ini lawannya adalah fear arousing technique, yang bersifat menakut-nakuti atau menggambarkan resiko yang buruk. Dalam kampanye Keluarga Berencana sering menggunakan kedua teknik ini. Pay off technique menunjukkan betapa bahagianya memiliki dua anak saja, sedangkan fear arousing technique memperlihatkan betapa repotnya sebuah keluarga yang beranak banyak. Keempat, teknik tataan (icing, baca: aising), adalah seni menata pesan dengan emotional appeal sedemikian rupa, sehingga komunikan menjadi tertarik perhatiannya. Bisa dianalogikan dengan kue yang baru dikeluarkan dari panggangan yang ditata dengan lapisan gula warna-warni sehingga kue yang tadinya tidak menarik menjadi indah dan memikat. Dalam hubungan ini komunikator mempertaruhkan kepercayaan komunikan terhadap fakta pesan yang disampaikan. Kelima, teknik red-herring. Seninya teknik ini adalah meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah kemudian dijadikan untuk menyerang lawan. Bagi seorang diplomat atau tokoh politik ini sangat penting untuk mempertahankan diri atau menyerang secara diplomatis. Tentunya sebelum terjun ke arena dengan menggunakan teknik ini, komunikator harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang.
Demi berhasilnya komunikasi persuasif, perlu dilaksanakan secara sistematis. Ada suatu formula yang biasa disebut AIDDA yang dijadikan landasan pelaksanaan. AIDDA adalah singkatan dari Attention (perhatian), Interest (Minat), Desire (Hasrat), Decision (Keputusan), dan Action (Aksi). Berdasarkan formula tersebut, dalam melakukan kegiatan itu dimulai dengan menumbuhkan perhatian. Senyum yang tersungging di wajah yang cerah juga sudah cukup menimbulkan perhatian komunikan. Bila perhatian sudah berhasil dibangkitkan, selanjutnya adalah menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan komunikan. Sebab itu, komunikator harus mengenal komunikannya. Tahap berikutnya adalah memunculkan hasrat pada komunikasi untuk melakukan ajakan, bujukan, atau rayuan komunikator. Disini emotional appeal perlu ditampilkan komunikator sehingga pada tahap berikutnya komunikan mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan atau aksi yang diharapkan komunikator.
Tata cara pentahapan komunikasi persuasif ini bisa diketahui hasilnya dalam beberapa saat, tapi sayangnya juga bisa bertahun-tahun. Akibat yang ditimbulkan juga bisa berdampak kognitif, afektif, dan atau behavioral. Jika berdampak kognitif, komunikan hanya mengetahui saja. Sedangkan dampak afektif, komunikan bukan hanya sekedar tahu, tapi tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.
Terlepas dari percaya atau tidaknya sahabat saya itu terhadap penjelasan saya yang panjang lebar, yang jelas ini semua berdasarkan suatu ilmu yang kebenarannya telah diuji dan digeneralisasikan. Tidak sadar, langit sudah senja. Akhirnya kami harus berpamitan. Setidaknya, sahabat saya itu membawa wawasan baru. Semoga dia tidak menyesal karena memilih kuliah dijurusan yang bukan ilmu komunikasi ;)
(adhelya)
BOROBUDUR MINI ITU TERNYATA PANTUN
Berawal dari ketidaksengajaan dan hasrat untuk melepas penat, ruang redaksi dipenuhi kata-kata yang tersusun menjadi sebuah pantun (walau rima dan susunannya sering tidak “nyambung”). Suatu hiburan tersendiri bisa membuat satu bait pantun dan pantun tersebut bisa membuat orang lain tersenyum.Saling melempar, meledek, membalas, hingga akhirnya tersadar bahwa pantun adalah warisan budaya verbal yang sudah ada sejak Nusantara masih memiliki raja-raja dan pantun (ternyata) belum dilupakan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri dari empat kata, baris pertama, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Bisa dikatakan bahwa pantun itu ibarat gula dan garam. Dalam praktik sehari-hari, pantun menjadi penyedap atau pemanis bahasa sebagai alat komunikasi. Puisi atau sajak, atau pantun, atau bentuk sastra nonprosa pada umumnya (gurindam, talibun, soneta, tersina, stansa, kwatrin, septima; asli maupun impor) sering dianggap sebagai pilar bahasa, atau sari-pati dari kebudayaan kata. Di dalamnya ada kekuatan magis dari kata dan bunyi. Karena itu, pantun sering dipakai untuk menenangkan massa, menyihir manusia, membungkam ular, memanggil hujan, bahkan mengantarkan arwah ke alam baka. Selain itu pantun juga berfungsi sebagai media pendidikan dan pencatat sejarah.
Apa yang membuat pantun menjadi populer? Sederhana saja. Pantun adalah properti publik, atau kekayaan masyarakat yang paling nyata. Ia bisa menyatukan, membuat banyak orang merasa punya kelompok dan kaya, meskipun hanya dalam kata-kata. Pantun yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi, bernilai seperti harta pusaka. Dalam banyak hal, warisan nonfisik yang dimiliki berbagai suku bangsa di Indonesia mungkin bisa memberi sedikit hiburan.Dengan kata lain, kalau mau melihat kebesaran masa lalu di negeri yang serba lisan, lihatlah pantun atau lagu-lagu rakyatnya. Pantun, sama seperti kerajinan terakota di zaman Majapahit, serba kecil, unik, tetapi mengisyaratkan kebesaran dan kemurahan hati atau kekayaan spiritual masyarakatnya. Ada pantun kentrung dari Jawa Timur, dendang pauah dan kato pusako dari Ranah Minang. Ada juga sastra lisan Saluan dari Sulawesi Tengah dan sastra lisan Lio dari Flores. Dalam upacara adat di beberapa daerah (Gorontalo, Bima, Minangkabau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali) juga selalu bertumpu pada puisi, khususnya pantun-pantun lokal. Yang paling banyak, tentu pantun Melayu.
Perkataan yang berkaitan sirih pinang banyak digunakan di dalam pantun, puisi, pepatah dan gurindam serta bidalan Melayu. Pantun merupakan puisi tradisi Melayu yang di dalamnya tersirat kehalusan budi dan ketajaman pikiran. Di dalam pantun mengandung sebuah pepatah, perumpamaan atau disebut juga, kata orang tua. Selain itu terkandung juga perkataan bijaksana menyangkut pengalaman hidup dan digunakan sebagai pembanding, tauladan, dan pengajaran.
Dalam kebudayaan Sunda, seni pantun adalah seni pertunjukan yang menampilkan sang juru pantun dengan cerita yang dibawakannya. Cerita tersebut disampaikan dengan cara ditembangkan yang diiringi perangkat kecapi pantun yang dimainkan oleh sang juru pantun. Pertunjukan ini hanya dilakukan oleh seorang saja, yakni sang juru pantun. Cerita-cerita yang dibawakannya biasanya berputar pada kisah kerajaan Pajajaran dan sekitarnya, serta mitos-mitos yang tersebar di masyarakat. Cerita pantun Sunda yang cukup terkenal di antaranya Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, serta Lutung Leutik.
Ada banyak permasalahan yang bisa diangkat dalam pantun, misalnya tentang kemanusiaan. Bahayanya, terkadang muncul pelecehan terhadap etnis, kurang sadar jender, dan perlu peningkatan wawasan multikultural. Pantun memang rawan terhadap pelesetan, lebih-lebih yang berbau fanatisme, humor fisik, dan eksploitasi lingkungan.
Berikut ini pantun karya Sutan Takdir Alisjahbana, "Di mana Tuan Di Sana Sahaya" :
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat
Begitu terus berlanjut sampai delapan bait. Pesannya tegas dan hanya satu: hubungan dekat yang terus-menerus diperjuangkan. Bait ke delapan atau yang terakhir pantun Melayu klasik itu berbunyi:
Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.
Sangat jelas bahwa sasaran setiap pantun adalah komunikasi intens dan mendalam di antara pemakai bahasa. Pantun diciptakan sebagai landasan, dermaga, atau jalan raya komunikasi manusia. Karena itu, salah satu hal yang paling esensial adalah khasiat pantun untuk memperdalam kesan. Hal yang paling sepele pun bisa lebih indah, mendalam, dan serius di dalam pantun. Sebaliknya, hal yang serius, berat, dan membebani bisa diperingan. Contohnya adalah pantun-pantun yang memberikan hiburan, pantun jenaka, teka-teki, dan permainan. Meskipun punya kemungkinan menyindir atau melecehkan, pantun pun bisa menjadi hiburan dan kritik simbolis. Pantun jenaka menyajikan humor-humor yang monumental dan tahan lama.
Dari mana datangnya lintah
Dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari mata jatuh ke hati
Atau sekadar contoh pantun-pantun yang sangat karikaturis. Misalnya:
Jual pepaya dengan kandil
Kandil buatan orang Inggris
Melihat buaya menyandang bedil
Sapi dan kerbau tegak berbaris.
Sekarang, merangkai pantun itu gampang-gampang susah. Tantangannya adalah bagaimana membuat keindahan bahasa tetap menarik di tengah derasnya idiom-idiom baru yang dilansir teknologi komunikasi dan ledakan informasi. Namun, bila mau bercermin pada pantun lama, resep bahwa akhir suku kata mesti a-b-a-b seyogyanya dipegang teguh. Yang tidak kurang pentingnya adalah jumlah suku kata yang berkisar 8-12 suku kata per baris juga harus diperhatikan. Keteraturan, kejernihan dalam berpikir, dan kecerdasan menggunakan kata-kata adalah modal utama bagi pencipta pantun yang baik.
Fungsi-fungsi pantun dan puisi konvensional pada umumnya cukup luas. Pertama adalah sebagai pengawal pola berpikir. Keteraturannya, pola, rima, dan estetikanya mendorong pemakai bahasa berhati-hati dalam bicara. Kita sering mendengar nasihat, pikir dulu sebelum bicara. Hal itu memang benar adanya. Maka, jangan heran kalau ada pendapat bahwa pantun bisa mendorong masyarakat berbicara lebih sopan, lebih berbudi pekerti.
Selain itu pantun juga menciptakan entitas kelompok dan memberikan memori kolektif. Di antaranya telah sering kita dengar dalam lagu-lagu, seperti Keroncong Kemayoran, Si Paku Gelang, Kicir-kicir, Dayung Sampan, Lenggang Kangkung, dan banyak lagi. Semua lagu berpantun itu memberikan peluang improvisasi seluas-luasnya. Artinya, pantun membuat rakyat leluasa berkreasi (menciptakan dunia) dengan bahasanya. Dari sanalah tercipta kebersamaan. Semakin sering ada kesempatan berpantun (baca: berkreasi), bisa diharapkan semakin kuat pertemanan atau persaudaraan. Syaratnya tentu diperlukan pantun-pantun bermutu. Bukan hanya komunikatif, tetapi juga menyentuh hati dan menawarkan harapan, atau kenangan bersama.
Dalam arsitektur kata-kata, pantun menjadi sebuah "borobudur mini" yang (semoga) akan terus dijaga dan dinikmati semua generasi, baik tua maupun muda. Betapa ruginya bangsa kita jika harta pusaka ini lenyap ditengah pamor budaya pop yang semakin menggurita. (AdeL)
*dari berbagai sumber
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri dari empat kata, baris pertama, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Bisa dikatakan bahwa pantun itu ibarat gula dan garam. Dalam praktik sehari-hari, pantun menjadi penyedap atau pemanis bahasa sebagai alat komunikasi. Puisi atau sajak, atau pantun, atau bentuk sastra nonprosa pada umumnya (gurindam, talibun, soneta, tersina, stansa, kwatrin, septima; asli maupun impor) sering dianggap sebagai pilar bahasa, atau sari-pati dari kebudayaan kata. Di dalamnya ada kekuatan magis dari kata dan bunyi. Karena itu, pantun sering dipakai untuk menenangkan massa, menyihir manusia, membungkam ular, memanggil hujan, bahkan mengantarkan arwah ke alam baka. Selain itu pantun juga berfungsi sebagai media pendidikan dan pencatat sejarah.
Apa yang membuat pantun menjadi populer? Sederhana saja. Pantun adalah properti publik, atau kekayaan masyarakat yang paling nyata. Ia bisa menyatukan, membuat banyak orang merasa punya kelompok dan kaya, meskipun hanya dalam kata-kata. Pantun yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi, bernilai seperti harta pusaka. Dalam banyak hal, warisan nonfisik yang dimiliki berbagai suku bangsa di Indonesia mungkin bisa memberi sedikit hiburan.Dengan kata lain, kalau mau melihat kebesaran masa lalu di negeri yang serba lisan, lihatlah pantun atau lagu-lagu rakyatnya. Pantun, sama seperti kerajinan terakota di zaman Majapahit, serba kecil, unik, tetapi mengisyaratkan kebesaran dan kemurahan hati atau kekayaan spiritual masyarakatnya. Ada pantun kentrung dari Jawa Timur, dendang pauah dan kato pusako dari Ranah Minang. Ada juga sastra lisan Saluan dari Sulawesi Tengah dan sastra lisan Lio dari Flores. Dalam upacara adat di beberapa daerah (Gorontalo, Bima, Minangkabau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali) juga selalu bertumpu pada puisi, khususnya pantun-pantun lokal. Yang paling banyak, tentu pantun Melayu.
Perkataan yang berkaitan sirih pinang banyak digunakan di dalam pantun, puisi, pepatah dan gurindam serta bidalan Melayu. Pantun merupakan puisi tradisi Melayu yang di dalamnya tersirat kehalusan budi dan ketajaman pikiran. Di dalam pantun mengandung sebuah pepatah, perumpamaan atau disebut juga, kata orang tua. Selain itu terkandung juga perkataan bijaksana menyangkut pengalaman hidup dan digunakan sebagai pembanding, tauladan, dan pengajaran.
Dalam kebudayaan Sunda, seni pantun adalah seni pertunjukan yang menampilkan sang juru pantun dengan cerita yang dibawakannya. Cerita tersebut disampaikan dengan cara ditembangkan yang diiringi perangkat kecapi pantun yang dimainkan oleh sang juru pantun. Pertunjukan ini hanya dilakukan oleh seorang saja, yakni sang juru pantun. Cerita-cerita yang dibawakannya biasanya berputar pada kisah kerajaan Pajajaran dan sekitarnya, serta mitos-mitos yang tersebar di masyarakat. Cerita pantun Sunda yang cukup terkenal di antaranya Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, serta Lutung Leutik.
Ada banyak permasalahan yang bisa diangkat dalam pantun, misalnya tentang kemanusiaan. Bahayanya, terkadang muncul pelecehan terhadap etnis, kurang sadar jender, dan perlu peningkatan wawasan multikultural. Pantun memang rawan terhadap pelesetan, lebih-lebih yang berbau fanatisme, humor fisik, dan eksploitasi lingkungan.
Berikut ini pantun karya Sutan Takdir Alisjahbana, "Di mana Tuan Di Sana Sahaya" :
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat
Begitu terus berlanjut sampai delapan bait. Pesannya tegas dan hanya satu: hubungan dekat yang terus-menerus diperjuangkan. Bait ke delapan atau yang terakhir pantun Melayu klasik itu berbunyi:
Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.
Sangat jelas bahwa sasaran setiap pantun adalah komunikasi intens dan mendalam di antara pemakai bahasa. Pantun diciptakan sebagai landasan, dermaga, atau jalan raya komunikasi manusia. Karena itu, salah satu hal yang paling esensial adalah khasiat pantun untuk memperdalam kesan. Hal yang paling sepele pun bisa lebih indah, mendalam, dan serius di dalam pantun. Sebaliknya, hal yang serius, berat, dan membebani bisa diperingan. Contohnya adalah pantun-pantun yang memberikan hiburan, pantun jenaka, teka-teki, dan permainan. Meskipun punya kemungkinan menyindir atau melecehkan, pantun pun bisa menjadi hiburan dan kritik simbolis. Pantun jenaka menyajikan humor-humor yang monumental dan tahan lama.
Dari mana datangnya lintah
Dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari mata jatuh ke hati
Atau sekadar contoh pantun-pantun yang sangat karikaturis. Misalnya:
Jual pepaya dengan kandil
Kandil buatan orang Inggris
Melihat buaya menyandang bedil
Sapi dan kerbau tegak berbaris.
Sekarang, merangkai pantun itu gampang-gampang susah. Tantangannya adalah bagaimana membuat keindahan bahasa tetap menarik di tengah derasnya idiom-idiom baru yang dilansir teknologi komunikasi dan ledakan informasi. Namun, bila mau bercermin pada pantun lama, resep bahwa akhir suku kata mesti a-b-a-b seyogyanya dipegang teguh. Yang tidak kurang pentingnya adalah jumlah suku kata yang berkisar 8-12 suku kata per baris juga harus diperhatikan. Keteraturan, kejernihan dalam berpikir, dan kecerdasan menggunakan kata-kata adalah modal utama bagi pencipta pantun yang baik.
Fungsi-fungsi pantun dan puisi konvensional pada umumnya cukup luas. Pertama adalah sebagai pengawal pola berpikir. Keteraturannya, pola, rima, dan estetikanya mendorong pemakai bahasa berhati-hati dalam bicara. Kita sering mendengar nasihat, pikir dulu sebelum bicara. Hal itu memang benar adanya. Maka, jangan heran kalau ada pendapat bahwa pantun bisa mendorong masyarakat berbicara lebih sopan, lebih berbudi pekerti.
Selain itu pantun juga menciptakan entitas kelompok dan memberikan memori kolektif. Di antaranya telah sering kita dengar dalam lagu-lagu, seperti Keroncong Kemayoran, Si Paku Gelang, Kicir-kicir, Dayung Sampan, Lenggang Kangkung, dan banyak lagi. Semua lagu berpantun itu memberikan peluang improvisasi seluas-luasnya. Artinya, pantun membuat rakyat leluasa berkreasi (menciptakan dunia) dengan bahasanya. Dari sanalah tercipta kebersamaan. Semakin sering ada kesempatan berpantun (baca: berkreasi), bisa diharapkan semakin kuat pertemanan atau persaudaraan. Syaratnya tentu diperlukan pantun-pantun bermutu. Bukan hanya komunikatif, tetapi juga menyentuh hati dan menawarkan harapan, atau kenangan bersama.
Dalam arsitektur kata-kata, pantun menjadi sebuah "borobudur mini" yang (semoga) akan terus dijaga dan dinikmati semua generasi, baik tua maupun muda. Betapa ruginya bangsa kita jika harta pusaka ini lenyap ditengah pamor budaya pop yang semakin menggurita. (AdeL)
*dari berbagai sumber
Subscribe to:
Posts (Atom)