Saya sempat bercita-cita menjadi guru. Hmm, tidak
spesifik mau jadi guru apa, sih. Tapi saya tertarik dengan bidang psikologi dan
komunikasi. Jadi, saya sempat ‘ngayal’,
lucu juga kali ya kalau jadi guru bimbingan konseling atau BK. Tapi,
kenyataannya, jauh lebih lucu. Bahwa saya mendapatkan konseling justru dari
guru matematika saya yang berlabel 'killer' saat saya masih duduk di bangku SMP,
bukan dari guru BK saya.

Guru matematika saya telah berpulang selamanya sejak
saya kuliah (semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT). Ada kesan yang
tertinggal selepas itu. Bahwa ia memberikan jejak samar dalam cara saya
mengambil keputusan. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang saya
senangi, tapi sangat dipengaruhi oleh cara guru mengajar. Saat itu, beliau
(alm.) pun tidak memiliki cara yang istimewa dalam mengajar para siswanya.
Hanya berbekal papan tulis dan kapur, menggoreskan angka, memberi solusi
singkat, lalu memberi tugas kami menyelesaikan sederet soal matematika yang
tidak semuanya mudah. Bukan tipikal yang akrab dengan siswa-siswanya. Tipikal
pemikir yang cocok dengan bidangnya waktu itu, matematika. Otomatis, saya pun
biasa saja. Saya pun beberapa kali izin tidak ikut mata pelajaran beliau untuk
latihan basket menjelang kompetisi.
Semua berjalan datar. Hingga akhirnya, menjelang waktu
Ujian Akhir Nasional, saya dipanggil ke meja beliau saat teman-teman saya sibuk
bekerja sama menyelesaikan tugas kelompok. Bicara empat mata. Saya ditegur
karena nilai saya hampir dibawah rata-rata, apalagi mata pelajaran matematika!
Ternyata beliau memperhatikan catatan akademik saya.
Terdiam. Terheran. Dan saya tak menyangka.
“Saya tidak tahu banyak tentang kamu. Tapi, kamu cukup
aktif di sekolah ikut ini-itu. Sekarang kamu ikut tim basket sekolah. Saya
pikir sebaiknya kamu pilah kegiatan mana yang tidak mengganggu jadwal belajar
kamu, kalau kamu kesulitan membagi waktu. Kamu tidak bisa jalani semuanya dan
kepingin semuanya. Saya cuma mau kamu meningkatkan nilaimu agar kamu bisa
bersaing dengan teman-temanmu yang lain.”
Itu adalah sepenggal kalimat (atau nasehat) yang saya
ingat. Tidak sama sekali menggugah. Tapi, seperti beliau bisa membaca pikiran
saya dan saya sedikit tercubit. Saya tidak diabaikan olehnya. Guru yang
memperhatikan progres anak didiknya. Beliau tidak menilai dengan sekadar angka,
padahal ratusan rumus selalu memenuhi kepalanya.
Ego saya yang biasanya naik, jadi layu. Saya
diingatkan untuk berlatih membuat pilihan dalam hidup. Selain logika, ada rasa.
Karena ada sebab, ada akibat. Saya tidak dipandang muda oleh beliau dapat
membuat pilihan.
Kedekatan antara guru dan muridnya, bukanlah sesuatu
yang jamak ditemukan di sekolah. Begitupun saat di perguruan tinggi. Hubungan
personal antara guru dan murid, susah-susah gampang. Bagi saya, seorang guru di
luar kelas dan guru didalam kelas itu sama. Guru bukan profesi, tapi watak.
Tapi pengabdian. Jadi, dimanapun seorang guru memainkan perannya dalam
kehidupan sosial, ia tetaplah seorang guru. Berpikiran terbuka, mau ikut
belajar terhadap perubahan di sekelilingnya, bersedia terus menggali ilmu yang
menjadi kompetensinya, dan mendengar.
Bahkan seorang guru pun harus mendengar muridnya. Mau
tak mau, bapak ibu guru di kota besar, seperti Jakarta, adalah pengganti ayah
ibu di rumah. Sadar atau tidak disadari, tanggung jawab dalam membimbing
manusia dalam pertumbuhannya amatlah besar. Banyak celetukan guru yang saya
ingat sebagai kalimat kutipan yang (menurut saya) ‘kena’. Diantaranya:
Guru agama SMP saya pernah berkata:
“Jangan kelewatan mencintai cewek atau cowok karena
itu bisa berbalik menjadi kamu benci sama dia. Begitu juga kamu jangan
berlebihan membenci orang. Karena siapa tahu kamu jadi suka. Biasa saja. Tidak
boleh berlebihan dalam bersikap.”
Guru sejarah SMP saya pernah berujar:
“Dalam keturunan, ia mewariskan gen maupun sifat dari
kakek, nenek, ayah, ibunya. Hingga akhirnya membentuk dinasti. Bagus tidaknya
dinasti itu, ditentukan oleh bagaimana keturunan yang ada di dinasti tersebut.”
Guru SD saya pernah menjelaskan:
“Kutub magnet utara dan utara tidak akan ketemu karena
sama. Kutub positif dan negatif baru bisa nempel. Manusia juga begitu. Kita
berbeda, tapi menyatu.”
Di usia wajib belajar 12 tahun, apa yang kita serap
kebanyakan dari kehidupan sekolah. Secara tak langsung kita terbentuk dari
bagaimana pergaulan kita di sekolah, bagaimana seorang guru mengajar, menghibur
teman menangis saat ia curhat tidak cukup biaya untuk masuk sekolah favoritnya,
atau menahan diri untuk tidak menyontek saat ujian. Tak berlebihan, jika saya
menyatakan kualitas pendidikan tak lepas dari kualitas para guru
didalamnya. Bimbingan guru membekas mempengaruhi di setiap jenjang hidup kita. Ada mantan pacar, mantan bos, tapi tidak ada mantan guru.
Oh iya, ada satu keharuan ketika tahun lalu saya
menyerahkan undangan pernikahan kepada Kepala Sekolah Dasar saya, yang tak lain
adalah orang tua dari teman SD saya juga. Sambil mencium tangannya, beliau
berkata sambil tertawa renyah,” Alhamdulillah, gak nyangka, si jangkung kriting
ini akhirnya udah mau kawin.” :-)