Tuesday, December 4, 2012

Bye, My (Account of) Multiply!

Semenjak saya sudah intensif berada di rumah mulai Oktober lalu, saya berhasrat lagi untuk menulis di blog. Ada dua account, di platform Multiply dan di Wordpress. Khusus di Wordpress, itu ada blog join dengan suami. Sedangkan di Multiply adalah blog yang sudah setia menemani kehidupan saya dari 2007. Memang sudah lama saya tidak menengok ke Multiply, sampai akhirnya ada pengumuman bahwa konten blog harus dimigrasi ke layanan platform free blog yang lain karena Multiply akan ditutup untuk blog curhatan (eheheee..bercanda).

Tapi, sejak ekspansi Multiply ke Indonesia, Multiply sudah punya arah lain menjadi salah satu situs e-commerce. Keseriusan ini dengan membuka headquarter office di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Sempat kaget juga, sih, karena artinya segudang konten gambar dan teks harus saya pindahkan, meski Multiply bertanggung jawab memberikan panduan cara memindahkan konten ke platform blog baru. Ya, sudah, jadilah saya pilih platform Blogspot ini.

Ternyata fitur yang disediakan Blogspot lebih menarik ketimbang Multiply. Lebih user-friendly daripada Wordpress. Tapi, saya tidak bisa memindahkan semua konten blog lama ke blog baru ini. Berat dan makan waktu lumayan lama. Hiks, karena setiap "curhatan" pasti ada kenangannya.


So, goodbye my Multiply. Laman itu lama-lama akan menjadi fosil sejarah tentang bidadarikesunyian.

Wednesday, November 28, 2012

Pertemuan Pendek




image: smashingmagazine.com
 
"Apa kamu tersesat, Nona?"

Perempuan itu mendelik dan bergidik ketakutan. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat, lumpur, dan sedikit darah di lengan baju kanannya. Pria itu muncul dari semak-semak. Namun, suara semak-semak dari arah lain mengusik mereka berdua.

"Saya dikejar. Mereka mau menangkap saya." Perempuan itu bangun dan bergegas lari.

"Nona mau kemana?" teriak si Pemuda.

"Tidak tahu. Menjauh dari mereka!"

Si Pemuda mengejar perempuan yang ia panggil Nona. Sampai tiba di ladang jagung, mereka berhenti dan mengambil napas panjang-panjang. Mereka kelelahan.

"Kamu mau kemana, Nona?" tanya si Pemuda jengkel.

"Kenapa kamu mengikuti saya? Yang penting saya lari agar mereka tidak menangkap saya. Saya tidak mau dijodohkan. Saya tidak mau menikah dengan pria yang sama sekali tidak saya cintai!"

"Hah? Kenapa?" si Pemuda kebingungan.

"Karena hidup saya hanya untuk Krisna. Saya harus ketemu Krisna sekarang."

Pria itu terus membujuk si Nona pulang. Nona meronta menolak. Nona balik memaksa pria itu untuk terus berjalan. Ketika Nona mengatakan dimana Krisna tinggal, pria itu tersentak dan menolak mengantar.

"Tidak! Tidak mungkin. Di kampung itu, semuanya sudah mati!"

Makin histeris si Nona mendengar perkataan si Pemuda. Nona berlari sambil si Pemuda mengejarnya. Matahari sudah hampir terbenam. Si Pemuda akhirnya mengantar Nona yang syok bukan kepalang ke tempat si Nona mau.

Benar, setiba mereka di sana kampung itu sudah habis. Yang tersisa hanya runtuhan bangunan, pakaian yang berserakan di tanah, dan abu dari sisa-sisa rumah yang terbakar.

Nona terdiam lalu memandang ke empat penjuru mata angin. Si Pemuda melihat si Nona menatap nanar ke arah selatan. Dalam hitungan detik yang lambat, Nona berlari ke tebing. Selang hitungan detik yang cepat, pria itu tinggal sendiri di kampung yang teronggok sepi.

Pelabuhan Sunda Kelapa, Tua Tapi Tak Dilupa

Bisa dibilang Jakarta adalah kota pantai. Tapi, jangan bayangkan seperti di kota-kota pantai lain yang bisa dengan bebas dipandangi lautannya. Misalnya, Bali, Makassar, Ambon, atau daerah di Indonesia bagian tengah dan timur. Di Jakarta, mau nyebur ke laut saja mesti bayar masuk Taman Impian Jaya Ancol. Mengingat kota pantai tersebut, pelabuhan di DKI Jakarta tidak hanya Tanjung Priok. Ada lagi yang lebih oldies, yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa. Sama-sama di Jakarta Utara. Namun, Pelabuhan Sunda Kelapa ini menyimpan keistimewaan sendiri dibanding 'saudara'-nya, Pelabuhan Tanjung Priok.

Kita masih bisa melihat kapal-kapal kayu Pinisi, kapal kebanggaan Indonesia yang (saya percaya) nenek moyangnya pelaut. Buruh-buruh kapal kebanyakan berasal dari Sulawesi atau Maluku. Mereka mengangkut barang untuk dikirim hanya antar pulau saja. Tidak seperti di Tanjung Priok. Barang itu bisa berupa bahan-bahan bangunan dan tekstil. Sambangi saja di sore hari. Keadaannya sudah tidak terlalu riuh. Sambil menikmati cantiknya mentari senja juga boleh. Coba rasakan atmosfir lain ibukota di pelabuhan ini.

Di sekitar Sunda Kelapa, adalah pasar ikan dan Museum Bahari. Lebih keren lagi jika tempat-tempat bersejarah seperti Sunda Kelapa dan Museum Bahari tetap diperhatikan sebagai aset pariwisata ibukota. Tak hanya dilupakan, tapi juga dirawat dan dimaksimalkan. Karena ibukota Jakarta memendam segudang cerita sejarah yang seharusnya memang tak diabaikan begitu saja...














Foto-foto diatas saya ambil tahun 2008 menggunakan kamera poket Exilim seri jadul, sampai saya lupa seri kameranya. Kota tua yang menyimpan kecantikan terpendam dalam kelusuhannya.

Sunday, November 18, 2012

Dapur, Sumur, Kasur (?)

Menikmati sebagai ibu rumah tangga bukan hal yang sulit, tapi juga bukan hal yang mudah. Memutuskan menjadi ibu rumah tangga pun bukan perkara mudah, tapi ternyata bukan perkara yang sulit juga. Saya tidak rindu dengan rutinitas pekerjaan, yang saya rindu adalah gaji dan asuransi kesehatannya. Hahahaa. Saya juga tidak keberatan jadi ibu rumah tangga, karena saya bisa belajar banyak hal meski hanya dari rumah.


Bagi saya, tidak perlu mempertanyakan kedomestikan perempuan. Ketika saya memutuskan untuk resign dan fokus pada pengerjaan tesis saya, satu soal itu saja saya mendapat dua sisi pendapat dari orang yang berbeda-beda. Pendapat dari seorang ibu dengan dua orang anak dengan level officer yang setara dengan saya, memberi tanggapan dengan:

"Baguslah, kita bisa berbakti pada suami, mengurus rumah tangga. Insya Allah dilancarkan semua."

Sedangkan ada pendapat dari seorang perempuan lajang level supervisor yang usianya pertengahan 30-an:

"Yah, sayang banget. Kamu masih muda, kesempatan kejar karir dulu."

Nah, bagaimana dengan suami saya?

"Tanggung jawab, aja. Serius selesaikan tesis dan cari kerja lagi. Kerjaannya gak usah muluk-muluk. Yang penting kamu ada kegiatan."

Akhirnya, disinilah pepatah, i am the hero of my own story membuktikannya. Hanya saya sendiri yang bisa memutuskan apa yang akan terjadi dalam hidup. Saya memutuskan untuk menuruti apa kata suami saya setelah saya memutuskan untuk off dulu dari dunia perkantoran. Untuk urusan on-off ini, izin suami adalah kemewahan yang ia berikan kepada saya. Karena saya pernah ditanya oleh teman kantor lama kenapa saya resign. Alasan saya pun sekenanya: 'ingin rehat dulu', dan teman saya itu langsung menyembur:

"Gilee, iri gue ada orang yang resign cuma pengen istirahat. Gue aja dari gue pertama kerja sampai sekarang belum pernah istirahat."

Itu derita Anda. Hehehee. Perempuan adalah pihak yang paling mudah diberi label sosial oleh masyarakat. Perempuan dengan karir tinggi, dipertanyakan 'kesuksesan'-nya mengurus tetek bengek rumah tangga. Perempuan dengan ibu rumah tangga, harus bisa membuktikan diri bahwa menjadi ibu rumah tangga bisa tetap gaul, baik dari segi kehidupan sosial dan pengetahuannya.

Padahal, pasangan kita sendiri (baca: suami) kebanyakan di era sekarang ini sudah membebaskan kedomestikan perempuan tersebut. Sudah jauh dari zaman kuda gigit besi dimana perempuan hanya hidup diantara dapur, sumur, kasur. Dengan catatan, perempuan juga selalu berusaha mengingat perannya dalam keluarga. Ada suami yang memang menginginkan istrinya mengurus anak-anak di rumah, tapi sang istri tetap ingin berkarir di luar rumah. Banyak. Ada suami yang sangat mempersilakan istrinya bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga, juga banyak. Sangat disayangkan, bagi pasangan (baik itu suami atau istri) yang mengekang keinginan pasangannya menggapai aktualisasi diri.

Toh, urusan privat ini bukan untuk menjadi bahan rumpian. Cukup direnungkan. Begitu pun tulisan ini menjadi masukan & pengingat untuk saya. Mau menjadi ibu rumah tangga atau tidak, itu sungguh hal yang sangat sangat pribadi. Menurut saya, kalau tidak diutarakan oleh orangnya langsung, sebaiknya kita tidak usah bertanya tentang status karir orang lain. Tapi, sayang, kita hidup di daerah timur ya. Terlalu peduli dengan urusan orang lain, sampai 'lupa' berkaca dan evaluasi terhadap diri dan keluarganya sendiri. Termasuk saya.

For our inputs on another issue:
http://www.inc.com/articles/201104/women-in-technology-face-uphill-battle.html -> the image above is also taken from the link

Cinta Sejati Mimi Lan Mintuno. Siapa Mereka?

"Mugi sageto kados mimi lan mintuno." Ucapan ini kepada para pengantin baru memiliki makna luar biasa. Mimi merupakan blankas betina, sedangkan Mintuno adalah blankas jantan, merupakan hewan laut sejenis kepiting raksasa yang dalam bahasa amerika disebut sebagai horseshoes crab karena bentuknya yang menyerupai tapal kuda. Hewan ini akan selalu berpasangan, kemanapun dan dalam kondisi apapun. Bahkan konon jika mereka dipisahkan mereka akan langsung mati karena merasa kehilangan.

Dalam persepsi umum, mintuno sang pejantan, sosok yang berukuran lebih kecil dan berada diatas mimi, merupakan sosok yang lebih berjasa. Kemanapun mintuno menuju, ia mencengkeram kuat pasangannya untuk melindungi dan memastikan mimi hidup berkecukupan.. Begitupun dalam perspektif mintuno, sosok suami kemanapun dan dalam kondisi apapun harus mampu memberikan kepastian hidup nyaman dan berkecukupan bagi istrinya.

Mimi juga berjasa besar bagi kemaslahatan dan kesuksesan mintuno. Atas nama cinta, mimi meminta mintuno untuk mencengkeram kuat punggungnya, meski tak dapat disangkal cengkeraman mintuno membuat mimi sakit. Kemanapun dan apapun kondisinya, mimi mendukung mintuno untuk selalu berada diatas dan selalu berbahagia meski ia sekedar menjadi pijakan kaki kesuksesan pasangan terkasihnya.

Itulah para suami! Janganlah berbangga diri jua merasa pongah mengaku sebagai pihak utama yang berjasa. Seringkali karena sifat bangga diri tersebut, tak sedikit suami yang menjadi seenaknya sendiri. Melupakan peran dan menganiaya istri yang mengabdikan hidup demi kesuksesan yang kita raih. Ingatlah, istrimu begitu setia menjadi pijakan demi cintanya kepadamu.

Dan itulah para istri! Teguhlah mendukung suami dan setia menjaga diri. Menjadi pijakan tidak akan membuatmu terbelakang. Justru karena kesetiaan dan kerelaan yang engkau berikan, membuatmu menjadi bahan perbincangan para bidadari yang berada di khayangan. Mereka cemburu karena tidak bisa mengabdikan hidupnya di dunia sepertimu.

Begitu indah kerjasama kemesraan keduanya. Romantisme Mimi lan Mintuno merupakan simbol kebahagiaan hidup dalam ikatan setia pengabdian. Guru kehidupan bagaimana tentang kesetiaan dalam sebuah pernikahan.

Co-pas dari blognya Cakaep. Postingan ini menjadi 'pengingat' buat saya.
Image: kassa9.com

Wednesday, November 7, 2012

Membimbing, Lebih dari Sekadar Angka


Saya sempat bercita-cita menjadi guru. Hmm, tidak spesifik mau jadi guru apa, sih. Tapi saya tertarik dengan bidang psikologi dan komunikasi. Jadi, saya sempat ‘ngayal’,  lucu juga kali ya kalau jadi guru bimbingan konseling atau BK. Tapi, kenyataannya, jauh lebih lucu. Bahwa saya mendapatkan konseling justru dari guru matematika saya yang berlabel 'killer' saat saya masih duduk di bangku SMP, bukan dari guru BK saya. 

Guru matematika saya telah berpulang selamanya sejak saya kuliah (semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT). Ada kesan yang tertinggal selepas itu. Bahwa ia memberikan jejak samar dalam cara saya mengambil keputusan. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang saya senangi, tapi sangat dipengaruhi oleh cara guru mengajar. Saat itu, beliau (alm.) pun tidak memiliki cara yang istimewa dalam mengajar para siswanya. Hanya berbekal papan tulis dan kapur, menggoreskan angka, memberi solusi singkat, lalu memberi tugas kami menyelesaikan sederet soal matematika yang tidak semuanya mudah. Bukan tipikal yang akrab dengan siswa-siswanya. Tipikal pemikir yang cocok dengan bidangnya waktu itu, matematika. Otomatis, saya pun biasa saja. Saya pun beberapa kali izin tidak ikut mata pelajaran beliau untuk latihan basket menjelang kompetisi. 

Semua berjalan datar. Hingga akhirnya, menjelang waktu Ujian Akhir Nasional, saya dipanggil ke meja beliau saat teman-teman saya sibuk bekerja sama menyelesaikan tugas kelompok. Bicara empat mata. Saya ditegur karena nilai saya hampir dibawah rata-rata, apalagi mata pelajaran matematika!

Ternyata beliau memperhatikan catatan akademik saya. Terdiam. Terheran. Dan saya tak menyangka.

Saya tidak tahu banyak tentang kamu. Tapi, kamu cukup aktif di sekolah ikut ini-itu. Sekarang kamu ikut tim basket sekolah. Saya pikir sebaiknya kamu pilah kegiatan mana yang tidak mengganggu jadwal belajar kamu, kalau kamu kesulitan membagi waktu. Kamu tidak bisa jalani semuanya dan kepingin semuanya. Saya cuma mau kamu meningkatkan nilaimu agar kamu bisa bersaing dengan teman-temanmu yang lain.

Itu adalah sepenggal kalimat (atau nasehat) yang saya ingat. Tidak sama sekali menggugah. Tapi, seperti beliau bisa membaca pikiran saya dan saya sedikit tercubit. Saya tidak diabaikan olehnya. Guru yang memperhatikan progres anak didiknya. Beliau tidak menilai dengan sekadar angka, padahal ratusan rumus selalu memenuhi kepalanya.

Ego saya yang biasanya naik, jadi layu. Saya diingatkan untuk berlatih membuat pilihan dalam hidup. Selain logika, ada rasa. Karena ada sebab, ada akibat. Saya tidak dipandang muda oleh beliau dapat membuat pilihan.

Kedekatan antara guru dan muridnya, bukanlah sesuatu yang jamak ditemukan di sekolah. Begitupun saat di perguruan tinggi. Hubungan personal antara guru dan murid, susah-susah gampang. Bagi saya, seorang guru di luar kelas dan guru didalam kelas itu sama. Guru bukan profesi, tapi watak. Tapi pengabdian. Jadi, dimanapun seorang guru memainkan perannya dalam kehidupan sosial, ia tetaplah seorang guru. Berpikiran terbuka, mau ikut belajar terhadap perubahan di sekelilingnya, bersedia terus menggali ilmu yang menjadi kompetensinya, dan mendengar.

Bahkan seorang guru pun harus mendengar muridnya. Mau tak mau, bapak ibu guru di kota besar, seperti Jakarta, adalah pengganti ayah ibu di rumah. Sadar atau tidak disadari, tanggung jawab dalam membimbing manusia dalam pertumbuhannya amatlah besar. Banyak celetukan guru yang saya ingat sebagai kalimat kutipan yang (menurut saya) ‘kena’. Diantaranya:

Guru agama SMP saya pernah berkata:
Jangan kelewatan mencintai cewek atau cowok karena itu bisa berbalik menjadi kamu benci sama dia. Begitu juga kamu jangan berlebihan membenci orang. Karena siapa tahu kamu jadi suka. Biasa saja. Tidak boleh berlebihan dalam bersikap.

Guru sejarah SMP saya pernah berujar:
Dalam keturunan, ia mewariskan gen maupun sifat dari kakek, nenek, ayah, ibunya. Hingga akhirnya membentuk dinasti. Bagus tidaknya dinasti itu, ditentukan oleh bagaimana keturunan yang ada di dinasti tersebut.”

Guru SD saya pernah menjelaskan:
Kutub magnet utara dan utara tidak akan ketemu karena sama. Kutub positif dan negatif baru bisa nempel. Manusia juga begitu. Kita berbeda, tapi menyatu.”

Di usia wajib belajar 12 tahun, apa yang kita serap kebanyakan dari kehidupan sekolah. Secara tak langsung kita terbentuk dari bagaimana pergaulan kita di sekolah, bagaimana seorang guru mengajar, menghibur teman menangis saat ia curhat tidak cukup biaya untuk masuk sekolah favoritnya, atau menahan diri untuk tidak menyontek saat ujian. Tak berlebihan, jika saya menyatakan kualitas pendidikan tak lepas dari kualitas para guru didalamnya. Bimbingan guru membekas mempengaruhi di setiap jenjang hidup kita. Ada mantan pacar, mantan bos, tapi tidak ada mantan guru.

Oh iya, ada satu keharuan ketika tahun lalu saya menyerahkan undangan pernikahan kepada Kepala Sekolah Dasar saya, yang tak lain adalah orang tua dari teman SD saya juga. Sambil mencium tangannya, beliau berkata sambil tertawa renyah,” Alhamdulillah, gak nyangka, si jangkung kriting ini akhirnya udah mau kawin.” :-)

Nostalgia bersama TK Batutis, Bunga Matahari Di Ladang Pelangi


Setelah menikah, saya dan suami mencoba untuk mengkonstruksi masa depan bagi keluarga kami. Setahun menjalani pernikahan yang seru (ya, dalam arti kata sebenarnya), meski kehidupan kami berdua belum dihiasi tangis dan tawa bocah kecil sang buah hati. Itu betul-betul absolut kuasa Tuhan, sambil berusaha, saya dan suami saya pun menerawang, memiliki anak asuh yang bisa kami bantu dia sekolah agar bisa mandiri. Ah, tapi itu masih jauh. Sekarang kami masih hanya mampu menabung untuk kebutuhan hidup kami berdua.

Tapi, niat itu sedikit menggelitik batin dan pikiran saya.

Saya pernah merasakan keindahan “berbagi” itu. Mengabadikannya. Empat tahun lalu, dilatarbelakangi oleh keinginan saya mendapat nilai sempurna di mata kuliah Fotografi Jurnalistik, saya menemukan tempat yang bisa memenuhi misi saya waktu itu. TK Batutis. Baca-tulis-gratis. Saya mendapat informasi tentang sekolah itu dari Majalah Gatra, yang memuat review buku “Rumah Kisah: Selamat Datang Di Garasi” ditulis oleh Siska Y. Massardi, tak lain adalah pendiri sekolah tersebut. Hmm, pikir saya waktu itu seru juga. Dan begitu tahu tempatnya di Bekasi, saya nyengir. Jauh amat dari rumah saya di Cempaka Putih. Tapi, ternyata semuanya berjalan tak sesulit yang saya bayangkan. Berhasil menghubungi Ibu Siska dan membuat janji, saya siap menyambangi TK Batutis.

TK Batutis Al-Ilmi adalah TK gratis untuk anak-anak dhuafa yang didirikan oleh Ibu Siska. Dengan semangatnya dan orang-orang terdekat di sekitarnya, TK Batutis sudah berkembang. Saya lihat di linimasa Facebook milik Ibu Siska, TK Batutis sudah memiliki lahan sendiri plus mendirikan SD. Akhirnya, impian tim TK Batutis waktu itu alhamdulillah kini sedikit demi sedikit tercapai.
Entah ada semangat apa waktu itu hingga saya bersedia menempuh perjalanan hampir dua jam hanya untuk foto dengan tema anak-anak. Saya pun tidak mempersiapkan peralatan khusus jika dikatakan ingin photo-shoot. Saya hanya membawa kamera saku. Tiga kali datang di siang hari, dalam beberapa jam saya ikut kegiatan mereka.

Saya berkenalan dengan beberapa guru yang waktu itu keseluruhan adalah perempuan. Saya pun mencoba berbincang dengan anak-anak usia TK yang belajar di sana. Kesahajaan. Itulah atmosfir yang saya hirup dari suasana disana. Di garasi rumah Ibu Siska, mereka menjalankan kegiatan belajar-mengajar. Large classroom in small space. Mungkin itu ungkapan tepat. Alat-alat tulis, krayon, kertas, poster berhitung, gambar-gambar hewan, rak-rak buku, terbilang lengkap mengajak anak-anak menggambar, mewarnai, mengenal huruf dan angka, dan semua hal yang mendukung kegiatan bermain sambil belajar. Tidak cuma di kelas, anak-anak pun diajak menonton film DVD tentang edukasi  dan belajar shalat. Sungguh, mereka ini adalah anak-anak yang manis. Di balik kepolosan mereka, tersimpan bekal harapan besar orang tua mereka supaya mereka tidak juga mengalami hidup prihatin. Oh iya, mereka juga  melakukan sebagian kegiatan kelas di teras rumah tetangga Ibu Siska yang bersedia dipakai sebagai tempat belajar anak-anak batutis. Ah, lagi-lagi indahnya berbagi...

Bicara tentang langkah mulia yang Ibu Siska ambil tak akan ada habisnya. Beliau punya keinginan kuat untuk mengembangkan Batutis Al-Ilmi. Terlihat dari progres yang beliau buat dengan mengikuti pelatihan-pelatihan metode pendidikan dan terus mengembangkan sarananya. Then, I got the message. Jika seseorang betul-betul ikhtiar mewujudkan impiannya, entah bagaimana semesta ikut membantunya mencapai impian itu. Beliau tak hanya seorang guru, tapi seorang pembelajar. TK Batutis sebagai sekolah unggulan bagi dhuafa juga sudah dipublikasikan beberapa media massa.
Tapi, ulasan saya ini bukan memuja Ibu Siska dan TK Batutisnya. Saya hanya terharu dan amazed ternyata semangat seorang guru bisa begitu besarnya. Saya tahu ada banyak guru-guru luar biasa lain yang mempunyai kualitas unggul dan turut berkontribusi terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Saya ingin bertemu dengan guru-guru lain yang menciptakan atmosfir baru, yang bisa menggugah semangat anak-anak didiknya untuk memiliki harapan. Dan saya pun bisa belajar dari bapak dan ibu guru ini. Seorang guru dihormati, karena ia mampu menunjukkan kepada anak didiknya bahwa ia memiliki pengetahuan luas dan pikiran serta hati yang terbuka. Menjadi role-model bagi siswa-siswinya. Ini menjadi tabungan pengetahuan dan pengalaman saya untuk menjadi orang tua kelak. Orang tua yang tidak hanya memberi komando, tapi juga mengajak anaknya bergandengan melihat dunia seperti seorang teman. Hmmm, ingin rasanya main ke Batutis lagi.
Lantas, bagaimana dengan misi penyelesaian tugas akhir kuliah fotografi jurnalistik saya? Well, mission accomplished! Waktu itu, dengan penuh percaya diri saya menyerahkan esai foto TK Batutis ini kepada dosen. Hasilnya? Huruf A pun terpampang di transkrip nilai saya. :-)
Ketika aku paham...
Bahwa aku betulan merasakan alam adalah sekolahku
Semua orang adalah guruku
Aku bisa melihat relung dalam mata letihmu walau samar
Ada segenggam bekal yang akan engkau berikan
Dan aku bawa untuk perjalanan usia senjaku

Jadi, kala kita sudah sama menjadi orang yang tua
Ayolah,
Maukah kau berdansa denganku lagi?
Aku tahu bagaimana balas budi
Walau tuaku nanti tak punya apa-apa lagi
Dan aku hanya mampu memberi ini...

Sekuntum bunga matahari
Yang dulu pernah kita tanam di padang pelangi
Aku rindu usapanmu
Dan aku akan terus menghormatimu...
Dengan apa adanya dirimu, guruku