Wednesday, December 30, 2009
Sunday, December 6, 2009
Solusi JK
Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Biographies & Memoirs |
Author: | Hamid A |
Sudah basa-basinya. Kita masuk ke penilaian saya pada buku ini. JK. Dua huruf yang kondang dan menyisakan kesan positif selepas menjadi wapres. Ingat media tv pernah menayangkan saat beliau bermain bersama cucu-cucunya di rumah saat lepas tugas jadi wapres? Bagi saya itu cukup menyentuh. Sosoknya yang tidak 'sok kuasa', tidak jaim (jaga image), dan penuh humor menjadi nilai plus tersendiri di mata publik.
Nah, segi positif JK dalam berpikir, bersikap, bertindak, menjadi inti dari isi buku ini. Terlepas dari keterbatasan beliau sebagai manusia, sisi positif siapapun bisa menjadi contoh tauladan. Jujur dari opini pribadi saya, saya angkat topi untuk kerja keras beliau. Terlahir dari keluarga Sulawesi Selatan dengan tipikal budaya yang khas, beliau membuktikan bahwa beliau mampu dan berusaha sebaik-baiknya menjadi seorang pemimpin.
Pemikirannya yang mencerminkan 'terbiasa terjun ke lapangan' memberi solusi tersendiri yang kadang terkesan ekstrem, tidak mainstream. Yang jelas, buku ini bisa jadi pelajaran yang baik bagaimana saat kita menjadi pemimpin dan memperlakukan orang lain dengan sebaik-baiknya tanpa memandang siapa dan dari keluarga mana orang itu berasal.
Sedikit menyoal Golkar disini, Papa saya pendukung Golkar. Pandangan politiknya mengarah ke pohon beringin itu sejak dulu sampai sekarang. Tapi, saya menyarankan Papa untuk jadi "fans" saja, tak usah "tercebur" langsung. Berada di luar lingkaran memudahkan kita untuk menjadi obyektif. Oke, balik ke topik. Termasuk ketika JK mencalonkan diri jadi presiden, tanpa ragu Papa saya mencontreng wajah JK. Juga keluarga Kalla ternyata mendapat tempat tersendiri di hati Papa saya. Dan beliau antusias saat saya membeli buku ini dan kapan-kapan ingin ikut membaca juga.
Tapi, maaf ya, Pa, belum selesai aku baca sampai sekarang, hihihii....
Friday, November 6, 2009
Rengekan : Mau Ke Dufaaaannnnn...!!!
Sudah lama aku tidak merengek seperti bocah yang minta dibelikan balon atau mainan. Tapi, sekarang aku punya "keranjang hidup" yang menampung semua rengekan sepele yang menurutku justru penting. Termasuk:
"Mau ke duuufffaaaannnn......!!!!!"
Tak pernah bosan aku bilang begitu sampai permintaanku terwujud. Entah roh mana yang merasuki hingga tercetus ide dan hasrat menggebu untuk berteriak, tertawa, bergandeng tangan bersama, pamer sunglasses yang (padahal) sudah dibeli dua tahun lalu, foto-foto, dan jalan-jalan. Logikaku tergeser oleh ambisi untuk melepas kekangan cukup satu hari saja. Aku tahu aku jarang meminta banyak. Tapi, dia pusat keceriaanku sekarang ditengah rapatnya tugas dan setan rutinitas.....Please, ke dufan ya...
Sunday, September 13, 2009
Saturday, August 29, 2009
Jihadnya Jihan
Aku teringat kala itu menjelang senja di kota kecil sebelah selatan ibukota. Ia orang yang pendiam namun ramah. Tapi yang aku ingat, senyumnya yang manis kala kami berkenalan dan ia menyebut namanya: Jihan. Ia selalu melewati toko sepeda, toko tempat aku bekerja, dan menyapa penjual lontong sayur yang mangkal depan toko.
Saat bulan puasa, aku tambah sering melihatnya, hingga suatu saat waktu mempertemukan kami untuk saling mengenal. Aku kira ia datang sendiri setiap kali tarawih di masjid. Tapi, tidak. Ia selalu menemani seseorang. Perempuan tua yang aku tahu ibunya Jihan. Saat aku bertanya mana anggota keluarga yang lain, Jihan lagi-lagi hanya tersenyum. "Tak ada. Saya hanya bersama mamak."
Perlu kesabaran untuk menekan rasa penasaranku agar bisa mengetahui riwayat keluarganya. Entah kenapa, Jihan seperti memiliki magnet yang tak biasa dimataku. "Mengapa saya harus menceritakannya padamu, Ridwan?" tanya Jihan sendu. Aku hanya mengedikkan bahu.
Sampai pada akhirnya, Jihan berkenan menceritakan keluarganya. Ibunya yang renta, Jihan yang harus bekerja siang malam, Ayahnya yang telah tiada, dan kakaknya yang pergi entah kemana.
"Abang sudah lama pergi." Aku terus menyimak tuturannya. "Katanya dia ingin belajar, berilmu. Tapi saya enggak ngerti. Tapi sekarang saya mulai tahu, apa yang dimaksudnya 'belajar'," ungkap Jihan dengan menekan volume suara pada kata 'belajar'.
"Lantas, belajar apa?" Akhirnya aku bertanya.
Jihan menatap mataku sebentar, lalu memalingkan muka. "Belajar bagaimana caranya ke surga."
Lama di otakku seperti terputar film hitam putih rekaanku sendiri mencocokkan adegan dari apa yang diceritakan Jihan. "Dia bertahun-tahun enggak pulang sampai bapak meninggal dan mamak sakit-sakitan. Dia terlalu jauh belajar, kurasa."
Aku menelan ludah. Masih menantikan cerita-cerita Jihan. "Sampai saya berjanji pada diri sendiri dan Allah, jika abang pulang, saya akan mengenakan kerudung, menutup aurat....," kata Jihan sambil menerawang.
Aku gatal untuk tidak bertanya. "Kenapa harus menunggu abangmu?" Lalu aku menyesal bertanya sebab mata Jihan mulai berkaca-kaca.
"Entah. Tapi akan saya tunjukkan sama abang kalau belajar itu tak perlu jauh-jauh sampai tak ada kabar dan menelantarkan keluarganya. Akan saya tunjukkan jihad itu tak perlu menyengsarakan banyak orang. Akan saya beri tahu bahwa jihad itu... jihad itu...."
Dan gawat. Jihan mulai menangis. Aku bingung bukan kepalang untuk menenangkannya. Di tempat sepi begini, terlalu mengkhawatirkan menemui sepasang anak muda duduk berdua dan si perempuan menangis kencang. Belum sempat aku bersuara, Jihan mengeluarkan robekan kertas koran berisi daftar nama orang-orang yang diburu polisi karena melakukan pengeboman.
Aku tertegun.
"Akan saya teriak di depan muka dia bahwa kita bisa berjihad. Menjaga nama baik dan mengurus orangtua dan membantu saudara sendiri itu jihad, bersekolah sampai menuntut ilmu untuk menyebar pengetahuan dan kebaikan itu jihad, tetap jujur diantara yang munafik itu jihad, bekerja seperti anjing demi melanjutkan hidup dan berusaha keras menjemput rejeki dari Allah juga jihad. Hidup kita kan sudah susah, Ridwan, apa yang bisa kita perbuat selain itu?"
Sunday, August 23, 2009
Langkah Sederhana (Soal Uang) Dimulai Dari Sekarang
Date : Happy Sunday
Place : My messy bedroom
Mood : Okay...
Song : Work - Jimmy Eat World
Entah berapa kali saya merasa bahwa pengeluaran saya sudah mulai gawat. Saldo rekening lari entah kemana. Saya mengakui bahwa saya masih belum disiplin mengatur uang di saat sekarang ini ketika saya harus beradaptasi dengan busana formal ala wanita kantoran *menghembuskan napas*. Dan ternyata itu membutuhkan modal yang (ehm, sepertinya) tidak sedikit. Badan saya memang "gepeng" begini, tapi ukuran pakaian saya mesti 'L' lho! Memang ukuran L itu yang pas dengan tubuh. Jadi, produk Melawai dan ITC sering tidak muat. Huhuu....
Itu satu. Nah, tapi saya harus menabung walau nominalnya hanya 6 digit per bulan. Menghemat ongkos juga perlu walau badan saya tambah remuk dempet2an dalam bis. Dan bangun lebih pagi? Ouch, belum ada sesuatu atau seseorang yang bisa membuat saya mencintai bangun pagi kecuali untuk ibadah solat subuh.
Cara lain langkah sederhana lainnya dalam menyelamatkan isi kantong adalah menabung di celengan atau simpan uang tunai dalam rumah sisa kembalian. Walau satu tahun nominalnya tidak seberapa, tapi yang namanya nilai uang tetap harus disyukuri, 'kan?
Jika ada rezeki lebih, kenapa kita perempuan tidak membeli emas untuk invest? Saya tidak suka pakai perhiasan emas, jadi pasti saya simpan (tapi sampai sekarang saya menulis kalimat ini, uang saya belum terkumpul untuk beli emas..heheee...). Oke, menabung dan membeli emas. Setidaknya kita melakukan hal kecil dulu untuk memeluk segunung pundi yang (insya Allah) akan kita raih. Optimis harus, dong!
Yang jelas, sekarang ini kita harus tahu posisi kita ada dimana dalam menggunakan uang. Kalau saya, sekarang dengan penghasilan yang saya terima, saya boros dalam membelanjakan busana kerja, ongkos, dan makan. Oh, I couldn't resist it!
Jadi, begitu minggu depan sudah gajian, segera pos-kan pengeluarannya untuk apa saja, ya. Jangan dibelanjakan duluan baru di-pos-kan. Saya tahu, bicara lebih mudah daripada melakukan. Tapi setidaknya dimensi kognitif kita sudah bekerja dengan menyampaikan sinyal ke otak bahwa kita harus menabung. Yah, meski kadang aspek motorik kita bekerjanya lama untuk soal itu.
Happy Saving!
Sunday, August 2, 2009
Thursday, July 16, 2009
Wednesday, July 15, 2009
Sunday, June 21, 2009
Gue Anak Jakarta!
Jakarta.
Kata yang didominasi oleh huruf A. Nama yang angkuh tapi menggoda. Katanya merana tapi tetap kaya. Saya menulis ini tentu akan menghasilkan tulisan yang sangat subjektif. Saya tidak keberatan dibilang anak Jakarta (dengan segala stereotip yang melekat dan sesungguhnya ITU TIDAK ADIL). Saya lebih suka dibilang orang Jakarta. Sebab dari ari-ari saya yang dikubur, suka duka keluarga dan persahabatan, cinta sederhana, juga pengalaman dicopet dan berjejalan di dalam bis kota, saya sudah terglembeng di Jakarta.
Jakarta masuk dalam 12 kota besar di dunia dengan segala historikal yang mengelilinginya, namun sayangnya kota ini tergerus oleh modernisasi yang menyentuh aspek lansekap, arsitektur kota, sampai gaya hidup yang sangat metropolis (saya risih ketika menulis kalimat terakhir tadi).
Jakarta di usianya yang 482 menanggung beban tersendiri. Tak perlu saya tulis lagi ya untuk mengingatkan soal banjir, macet, sampah, dan polusi. Beban kota besar seperti itu (tidak hanya dialami Jakarta) memang akan membuat penduduknya “setengah gila”. Sayangnya, pemerintah DKI juga maju kena mundur kena. Empat hal menyebalkan yang saya tulis di atas tetap menjadi momok yang entah kapan akan benar-benar terselesaikan. Tapi, mungkin lain cerita kalau Jakarta jadi penyelenggara olimpiade. Seperti China, yang merombak kebijakan dan peraturan berkaitan dengan lingkungan akibat parahnya polusi di kota-kota besarnya, misalnya di Beijing, demi suksesnya perhelatan tersebut.
Kilas balik. Tanah Jakarta yang sebenarnya rawa-rawa, yang akhirnya digeruk untuk pembangunan kota menjadikan Jakarta langganan banjir. Saya sempat baca di sebuah artikel, konon, dulu JP Coen sempat ditentang oleh sesama orang Belanda untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat aktivitas publik (pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya) karena kontur tanah yang tidak tinggi (ceritanya orang Belande sono udah ngarti gimane rasanye punya negeri yang tanahnya lebih rendah daripada laut). Salah satu solusinya, ya, Jakarta harus dibangun kanal-kanal. Serahkan saja kepada insinyur Belanda soal ini, begitu kira-kira perintah Gubernur Jenderal saat itu. Kita mah yang inlander nurut-nurut aja.
Sanitasi, apa kabar? Daerah Kelapa Gading, Tanjung Priok, dan area Jakarta Utara lainnya sudah maklum air tanah mereka sudah terasa agak asin sekarang. Akhirnya merembet ke daerah yang terdekat, seperti Sumur Batu, Cempaka Putih, dan sekitarnya. Air tanah sudah terkontaminasi logam dan padatnya pemukiman membuat kebersihan menjadi urusan nomor kesekian. Sekitar awal abad 20, Batavia (Oud Jakarta = jakarta zaman dulu, maksudnya) pernah diserang penyakit menular yang menelan banyak korban, macam kolera dan tifus, seiring dengan Kali Ciliwung yang mulai tercemar sehingga kurang baik untuk dikonsumsi.
Perubahan zaman otomatis akan berdampak pada perubahan gaya hidup, lingkungan, pola pikir, dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Tapi, Jakarta dikuasai oleh orang-orang pendatang sehingga kesadaran untuk merawat dan menjaga kota ini sangatlah kurang. Namanya juga bukan “rumah”-nya sendiri. Mana mau orang repot-repot merawat tempat yang bukan rumahnya? Lantas sekarang, apa yang bisa saya lakukan untuk (dan di ) Jakarta?
Selamat Ulang Tahun Jakarta-ku atas cinta dan segala perjuangan hidup.
Kata yang didominasi oleh huruf A. Nama yang angkuh tapi menggoda. Katanya merana tapi tetap kaya. Saya menulis ini tentu akan menghasilkan tulisan yang sangat subjektif. Saya tidak keberatan dibilang anak Jakarta (dengan segala stereotip yang melekat dan sesungguhnya ITU TIDAK ADIL). Saya lebih suka dibilang orang Jakarta. Sebab dari ari-ari saya yang dikubur, suka duka keluarga dan persahabatan, cinta sederhana, juga pengalaman dicopet dan berjejalan di dalam bis kota, saya sudah terglembeng di Jakarta.
Jakarta masuk dalam 12 kota besar di dunia dengan segala historikal yang mengelilinginya, namun sayangnya kota ini tergerus oleh modernisasi yang menyentuh aspek lansekap, arsitektur kota, sampai gaya hidup yang sangat metropolis (saya risih ketika menulis kalimat terakhir tadi).
Jakarta di usianya yang 482 menanggung beban tersendiri. Tak perlu saya tulis lagi ya untuk mengingatkan soal banjir, macet, sampah, dan polusi. Beban kota besar seperti itu (tidak hanya dialami Jakarta) memang akan membuat penduduknya “setengah gila”. Sayangnya, pemerintah DKI juga maju kena mundur kena. Empat hal menyebalkan yang saya tulis di atas tetap menjadi momok yang entah kapan akan benar-benar terselesaikan. Tapi, mungkin lain cerita kalau Jakarta jadi penyelenggara olimpiade. Seperti China, yang merombak kebijakan dan peraturan berkaitan dengan lingkungan akibat parahnya polusi di kota-kota besarnya, misalnya di Beijing, demi suksesnya perhelatan tersebut.
Kilas balik. Tanah Jakarta yang sebenarnya rawa-rawa, yang akhirnya digeruk untuk pembangunan kota menjadikan Jakarta langganan banjir. Saya sempat baca di sebuah artikel, konon, dulu JP Coen sempat ditentang oleh sesama orang Belanda untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat aktivitas publik (pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya) karena kontur tanah yang tidak tinggi (ceritanya orang Belande sono udah ngarti gimane rasanye punya negeri yang tanahnya lebih rendah daripada laut). Salah satu solusinya, ya, Jakarta harus dibangun kanal-kanal. Serahkan saja kepada insinyur Belanda soal ini, begitu kira-kira perintah Gubernur Jenderal saat itu. Kita mah yang inlander nurut-nurut aja.
Sanitasi, apa kabar? Daerah Kelapa Gading, Tanjung Priok, dan area Jakarta Utara lainnya sudah maklum air tanah mereka sudah terasa agak asin sekarang. Akhirnya merembet ke daerah yang terdekat, seperti Sumur Batu, Cempaka Putih, dan sekitarnya. Air tanah sudah terkontaminasi logam dan padatnya pemukiman membuat kebersihan menjadi urusan nomor kesekian. Sekitar awal abad 20, Batavia (Oud Jakarta = jakarta zaman dulu, maksudnya) pernah diserang penyakit menular yang menelan banyak korban, macam kolera dan tifus, seiring dengan Kali Ciliwung yang mulai tercemar sehingga kurang baik untuk dikonsumsi.
Perubahan zaman otomatis akan berdampak pada perubahan gaya hidup, lingkungan, pola pikir, dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Tapi, Jakarta dikuasai oleh orang-orang pendatang sehingga kesadaran untuk merawat dan menjaga kota ini sangatlah kurang. Namanya juga bukan “rumah”-nya sendiri. Mana mau orang repot-repot merawat tempat yang bukan rumahnya? Lantas sekarang, apa yang bisa saya lakukan untuk (dan di ) Jakarta?
Selamat Ulang Tahun Jakarta-ku atas cinta dan segala perjuangan hidup.
Friday, June 12, 2009
Pesta Buku Jakarta
Start: | Jun 27, '09 10:00a |
End: | Jul 5, '09 |
Location: | Istora Senayan, Jakarta |
Thursday, June 11, 2009
PR I'm in Love! (BELAJAR KOMUNIKASI DARI KASUS PRITA)
Kasus Prita menjadi bahan yang dapat dilihat dari perspektif ilmu komunikasi. Bagaimana Prita menjadi sosok yang diperhatikan oleh banyak orang sampai tindakan RS Omni yang menimbulkan banyak opini publik.
Saya jadi ingin kembali kuliah dan berkecimpung di PR. Padahal, dulu saya paling malas disuruh baca buku ‘Effective Public Relation’. Tulisan Pak Luthfi ini sengaja saya unggah soalnya saya anggap bisa menambah wawasan saya. Semoga penulis tidak keberatan karena saya kutip dari Rubrik Opini Koran SINDO (10 Juni 09) dan news.okezone.com.
BELAJAR KOMUNIKASI DARI KASUS PRITA
Luthfi Subagio
PR Consultant, Tinggal di Jakarta
Barangkali dokter dan owner Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera, Banten, Tangerang saat ini susah mengaso. Kasus Prita seperti mimpi buruk siang bolong. Begitu dahsyatnya sehingga melumpuhkan brand RS bermerek internasional tersebut. Bahkan di mesin pencari dunia maya, nama Prita dan RS Omni mempunyai hit tinggi, tentu saja dengan tendensi negatif dan destruktif.
Saat ini bisa kita lihat dampak dari krisis komunikasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan recovery karena kini RS itu menjadi musuh publik. Tingkat kepercayaan tentu langsung turun, bahkan DPR meminta izinnya dicabut. Bayangkan ini: orangtua sebuah keluarga yang lewat di depan RS itu akan menggunjing dan didengar anak-anak mereka, yang akan terus diingat. Lengkaplah penderitaan itu.
Salah Langkah
Sejak awal RS Omni memakai paradigma yang salah dalam menangani persoalan, yaitu dengan paradigma palu dan paku. Oleh RS Omni, pasien hanya dianggap sebagai "paku kecil" yang perlu "digetok" lantas beres masalahnya. Kesalahan ini bisa dianggap makin fatal jika benar dalam menggetok itu RS Omni mendapatkan masukan dari penasihat hukum atau dukungan aparat penegak hukum.
Kasus ini sebenarnya tidak perlu berujung menistakan RS Omni jika RS itu punya manajemen komunikasi (public relation/PR) yang berjalan dengan baik karena bagaimanapun layanan jasa itu menyangkut kepuasan orang. Di sini bisa kita lihat bukannya fungsi PR yang mengemuka, melainkan fungsi hukum. Padahal harusnya keduanya berjalan bersama jika terjadi krisis komunikasi. Wajar RS Omni tidak bisa menghitung ancaman yang bakal terjadi jika sampai memasukkan Prita ke penjara. Pikirannya pun sederhana, dengan mengirim Prita ke penjara, semua orang akan jera dan tidak akan main-main lagi menistakan RS Omni.
Pendekatan yang dipakai Omni juga lebih terasa kental sebagai pendekatan perusahaan daripada pendekatan RS yang lebih mementingkan servis dan pelayanan yang excellent. Maka harus dimaklumi jika publik kemudian marah. Bisakah Anda bayangkan, besarnya impact yang ditimbulkan dari siaran langsung televisi yang mengetengahkan Prita yang menangis karena kangen anak-anaknya? Dahsyatnya pula, TV menayangkan gambar dua anak itu yang seperti itik kehilangan induk. Hati siapa yang tidak tergedor, siapa pula yang tidak mengumpat RS Omni? Pada kasus ini, jangan membicarakan yang rasional. Karena rasionalitas pasti tidak jalan.
Publik sudah marah dan ketika marah, publik kehilangan rasionalitasnya, yang ada hanya satu kata: "lawan". Karena itu, sikap gagah-gagahan dengan menyerahkan semuanya kepada hukum untuk menindak aparat yang terbukti tidak profesional sama dengan penyataan bunuh diri. Suasana makin buruk ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga tidak membela RS Omni karena rekam jejak kesehatan adalah hak pasien. Dalam kondisi krisis seperti ini, komunikasi yang terjadi menjadi invalid sehingga perlu penanganan khusus.
Misalnya RS Omni sangat yakin bahwa pihaknya berada dalam posisi yang benar, padahal sebagai dokter yang juga manusia, masih mungkin mereka salah. Ini yang membuat publik makin geregetan. Mereka hanya menyerahkan masalah ini pada hukum yang berlaku. Tidak ada sifat rendah hati dan maaf yang tecermin dalam klarifikasi di media (atau mungkinkah media juga marah)? Antipati publik merupakan respons alami yang bisa dijelaskan. Publik seketika akan mengidentifikasikan dirinya sebagai Prita yang merupakan cerminan warga kebanyakan.
Dapat kita lihat betapa banyak ibu-ibu penggemar Facebook yang merasa terancam. Berbagai pertanyaan membayangi pikiran mereka seperti apakah saya dan keluarga saya aman bila berobat ke sana? Apa yang bisa saya lakukan untuk melindungi diri dan keluarga saya? Siapa yang menyebabkan semua ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk Prita?
Krisis Komunikasi
Jika memang ada proses komunikasi yang berjalan baik di RS itu, kasus semacam Prita ini justru bisa menjadikan poin penting untuk membangun ikon kebesaran RS tersebut. Biayanya tentu jauh lebih murah daripada beriklan.
Sejak awal harusnya ada pola yang memungkinkan pimpinan RS melihat bahwa Prita bisa menjadi "agen kebaikan" dari RS tersebut. Tetapi ini memang tidak mudah karena diperlukan kecerdasan PR, sebuah kecerdasan yang dihasilkan dari pikiran-pikiran menyamping yang berpikir menyamping dan out of the box sehingga memungkinkan mengubah ancaman jadi peluang dan memecahkan masalah yang paling pelik pun. Ujungnya tentu saja melindungi imej perusahaan dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Bahkan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan hukum, harusnya RS melakukan mapping intelligent tentang siapa Prita dan paham impact yang akan ditimbulkannya jika mengambil langkah hukum. Bila fungsi PR berjalan, yang akan terjadi selanjutnya adalah melakukan lokalisasi persoalan agar tidak sampai membuat imej atau nama baik perusahaan terancam. Karena itu, perlu melakukan langkah-langkah teknis, misalnya mulai dari content analysis, mapping opinion sampai way out yang harus dijalankan. Pada saat itu "teman" terdekat seorang PR adalah media.
Karena media berhubungan langsung kepala publik, itulah pintu yang paling lebar yang harus dijaga. Dari pintu itu pula semua persoalan di-manage sedemikian rupa sehingga semua under control. Tantangan bidang kerja PR dan fungsi PR bisa amat sangat berat. Karena targetnya mengacu pada membangun image dan mempertahankannya. Bagi perusahaan yang mapan dan sadar imej, apa pun dilakukan untuk menyelamatkan imej korporasi mereka.
Karena mereka sadar, bila sudah jatuh, akan sulit membangunnya kembali. Sering kali di sinilah dibutuhkan pemikiran yang lateral tadi, pemikiran yang tidak biasa dan terobosan-terobosan untuk sebuah kemenangan branding. Contohnya, bagaimana KPK yang superbody itu goyang dihantam krisis Antasari. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apakah Anda melihat KPK masih sama seperti dulu atau sedikit berubah? Kasus-kasus krisis komunikasi semacam ini memang perlu ditangani secara extra-ordinary. Dibutuhkan latihan untuk mengenali ancaman krisis komunikasi.
Dalam aplikasinya, seorang yang mengendalikan fungsi komunikasi seharusnya adalah orang-orang yang sangat paham dengan media, punya keahlian komunikasi, paham tentang psikologi, dan awas terhadap perubahan mendadak di lingkungannya. Konsultan komunikasi sama pentingnya dengan konsultan hukum, tetapi belum banyak yang menyadari itu. Ada sebuah cerita. Suatu saat maskapai penerbangan Jepang Japan Airlines (JAL) mengumumkan membatalkan penerbangan dari San Fransico, AS, ke Jepang karena pesawat rusak oleh badai salju.
Semua penumpang dipindahkan dan hampir semua penumpang menerima dengan senang hati. Namun ada seorang ibu yang tidak mau dan ngotot akan menunggu perbaikan pesawat JAL hingga selesai. Akhirnya manajemen mengabulkan penerbangan ibu yang dari muda selalu naik JAL itu. Hanya saja sekarang dia di-upgrade di kelas bisnis sambil ditemani wartawan! Bayangkan apa yang terjadi.(*)
Saya jadi ingin kembali kuliah dan berkecimpung di PR. Padahal, dulu saya paling malas disuruh baca buku ‘Effective Public Relation’. Tulisan Pak Luthfi ini sengaja saya unggah soalnya saya anggap bisa menambah wawasan saya. Semoga penulis tidak keberatan karena saya kutip dari Rubrik Opini Koran SINDO (10 Juni 09) dan news.okezone.com.
BELAJAR KOMUNIKASI DARI KASUS PRITA
Luthfi Subagio
PR Consultant, Tinggal di Jakarta
Barangkali dokter dan owner Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera, Banten, Tangerang saat ini susah mengaso. Kasus Prita seperti mimpi buruk siang bolong. Begitu dahsyatnya sehingga melumpuhkan brand RS bermerek internasional tersebut. Bahkan di mesin pencari dunia maya, nama Prita dan RS Omni mempunyai hit tinggi, tentu saja dengan tendensi negatif dan destruktif.
Saat ini bisa kita lihat dampak dari krisis komunikasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan recovery karena kini RS itu menjadi musuh publik. Tingkat kepercayaan tentu langsung turun, bahkan DPR meminta izinnya dicabut. Bayangkan ini: orangtua sebuah keluarga yang lewat di depan RS itu akan menggunjing dan didengar anak-anak mereka, yang akan terus diingat. Lengkaplah penderitaan itu.
Salah Langkah
Sejak awal RS Omni memakai paradigma yang salah dalam menangani persoalan, yaitu dengan paradigma palu dan paku. Oleh RS Omni, pasien hanya dianggap sebagai "paku kecil" yang perlu "digetok" lantas beres masalahnya. Kesalahan ini bisa dianggap makin fatal jika benar dalam menggetok itu RS Omni mendapatkan masukan dari penasihat hukum atau dukungan aparat penegak hukum.
Kasus ini sebenarnya tidak perlu berujung menistakan RS Omni jika RS itu punya manajemen komunikasi (public relation/PR) yang berjalan dengan baik karena bagaimanapun layanan jasa itu menyangkut kepuasan orang. Di sini bisa kita lihat bukannya fungsi PR yang mengemuka, melainkan fungsi hukum. Padahal harusnya keduanya berjalan bersama jika terjadi krisis komunikasi. Wajar RS Omni tidak bisa menghitung ancaman yang bakal terjadi jika sampai memasukkan Prita ke penjara. Pikirannya pun sederhana, dengan mengirim Prita ke penjara, semua orang akan jera dan tidak akan main-main lagi menistakan RS Omni.
Pendekatan yang dipakai Omni juga lebih terasa kental sebagai pendekatan perusahaan daripada pendekatan RS yang lebih mementingkan servis dan pelayanan yang excellent. Maka harus dimaklumi jika publik kemudian marah. Bisakah Anda bayangkan, besarnya impact yang ditimbulkan dari siaran langsung televisi yang mengetengahkan Prita yang menangis karena kangen anak-anaknya? Dahsyatnya pula, TV menayangkan gambar dua anak itu yang seperti itik kehilangan induk. Hati siapa yang tidak tergedor, siapa pula yang tidak mengumpat RS Omni? Pada kasus ini, jangan membicarakan yang rasional. Karena rasionalitas pasti tidak jalan.
Publik sudah marah dan ketika marah, publik kehilangan rasionalitasnya, yang ada hanya satu kata: "lawan". Karena itu, sikap gagah-gagahan dengan menyerahkan semuanya kepada hukum untuk menindak aparat yang terbukti tidak profesional sama dengan penyataan bunuh diri. Suasana makin buruk ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga tidak membela RS Omni karena rekam jejak kesehatan adalah hak pasien. Dalam kondisi krisis seperti ini, komunikasi yang terjadi menjadi invalid sehingga perlu penanganan khusus.
Misalnya RS Omni sangat yakin bahwa pihaknya berada dalam posisi yang benar, padahal sebagai dokter yang juga manusia, masih mungkin mereka salah. Ini yang membuat publik makin geregetan. Mereka hanya menyerahkan masalah ini pada hukum yang berlaku. Tidak ada sifat rendah hati dan maaf yang tecermin dalam klarifikasi di media (atau mungkinkah media juga marah)? Antipati publik merupakan respons alami yang bisa dijelaskan. Publik seketika akan mengidentifikasikan dirinya sebagai Prita yang merupakan cerminan warga kebanyakan.
Dapat kita lihat betapa banyak ibu-ibu penggemar Facebook yang merasa terancam. Berbagai pertanyaan membayangi pikiran mereka seperti apakah saya dan keluarga saya aman bila berobat ke sana? Apa yang bisa saya lakukan untuk melindungi diri dan keluarga saya? Siapa yang menyebabkan semua ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk Prita?
Krisis Komunikasi
Jika memang ada proses komunikasi yang berjalan baik di RS itu, kasus semacam Prita ini justru bisa menjadikan poin penting untuk membangun ikon kebesaran RS tersebut. Biayanya tentu jauh lebih murah daripada beriklan.
Sejak awal harusnya ada pola yang memungkinkan pimpinan RS melihat bahwa Prita bisa menjadi "agen kebaikan" dari RS tersebut. Tetapi ini memang tidak mudah karena diperlukan kecerdasan PR, sebuah kecerdasan yang dihasilkan dari pikiran-pikiran menyamping yang berpikir menyamping dan out of the box sehingga memungkinkan mengubah ancaman jadi peluang dan memecahkan masalah yang paling pelik pun. Ujungnya tentu saja melindungi imej perusahaan dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Bahkan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan hukum, harusnya RS melakukan mapping intelligent tentang siapa Prita dan paham impact yang akan ditimbulkannya jika mengambil langkah hukum. Bila fungsi PR berjalan, yang akan terjadi selanjutnya adalah melakukan lokalisasi persoalan agar tidak sampai membuat imej atau nama baik perusahaan terancam. Karena itu, perlu melakukan langkah-langkah teknis, misalnya mulai dari content analysis, mapping opinion sampai way out yang harus dijalankan. Pada saat itu "teman" terdekat seorang PR adalah media.
Karena media berhubungan langsung kepala publik, itulah pintu yang paling lebar yang harus dijaga. Dari pintu itu pula semua persoalan di-manage sedemikian rupa sehingga semua under control. Tantangan bidang kerja PR dan fungsi PR bisa amat sangat berat. Karena targetnya mengacu pada membangun image dan mempertahankannya. Bagi perusahaan yang mapan dan sadar imej, apa pun dilakukan untuk menyelamatkan imej korporasi mereka.
Karena mereka sadar, bila sudah jatuh, akan sulit membangunnya kembali. Sering kali di sinilah dibutuhkan pemikiran yang lateral tadi, pemikiran yang tidak biasa dan terobosan-terobosan untuk sebuah kemenangan branding. Contohnya, bagaimana KPK yang superbody itu goyang dihantam krisis Antasari. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apakah Anda melihat KPK masih sama seperti dulu atau sedikit berubah? Kasus-kasus krisis komunikasi semacam ini memang perlu ditangani secara extra-ordinary. Dibutuhkan latihan untuk mengenali ancaman krisis komunikasi.
Dalam aplikasinya, seorang yang mengendalikan fungsi komunikasi seharusnya adalah orang-orang yang sangat paham dengan media, punya keahlian komunikasi, paham tentang psikologi, dan awas terhadap perubahan mendadak di lingkungannya. Konsultan komunikasi sama pentingnya dengan konsultan hukum, tetapi belum banyak yang menyadari itu. Ada sebuah cerita. Suatu saat maskapai penerbangan Jepang Japan Airlines (JAL) mengumumkan membatalkan penerbangan dari San Fransico, AS, ke Jepang karena pesawat rusak oleh badai salju.
Semua penumpang dipindahkan dan hampir semua penumpang menerima dengan senang hati. Namun ada seorang ibu yang tidak mau dan ngotot akan menunggu perbaikan pesawat JAL hingga selesai. Akhirnya manajemen mengabulkan penerbangan ibu yang dari muda selalu naik JAL itu. Hanya saja sekarang dia di-upgrade di kelas bisnis sambil ditemani wartawan! Bayangkan apa yang terjadi.(*)
Tuesday, May 26, 2009
We 'Loft' Our House
Di Indonesia, mungkin masih asing dengan loft, yaitu tempat tinggal 'mini' berupa loteng yang bisa menampung berbagai aktivitas pemiliknya. Sekilas mungkin tampak seperti apartemen, tapi loft biasanya berukuran jauh lebih kecil. Untuk memenuhi life style, loft mulai banyak dilirik oleh kaum berada di kota metropolis, khususnya eksekutif muda sampai kalangan artis yang menginginkan gaya hidup masa kini.
Aslinya, loft merupakan tempat tinggal 'buangan', karena tempatnya berupa loteng-loteng sempit. Loft dulunya sebagai tempat pelarian para seniman di Manhattan, karena mereka tidak memiliki tempat tinggal akibat tergusur kaum borjuis dan pabrik-pabrik yang menempati tanah mereka. Kemudian para seniman tersebut membangun tempat/ruangan berukuran kecil untuk memenuhi kegiatan mereka untuk tidur, makan, melukis, mandi, dan lainnya.
Loft mulai dikembangkan di Los Angeles pada 2001. Dimana adanya undang-undang yang memaksa penduduk untuk tinggal tidak berdekatan dengan pabrik maupun perkantoran. Hal inilah yang mempelopori para pengembang untuk mendirikan loft-loft baik yang murah sampai yang mahal sesuai kebutuhan.
Saat ini jumlah loft di Indonesia masih bisa dihitung. Mungkin sementara ini hanya ada di Jakarta. Dan jangan ditanya mengenai harganya. Kita harus merogoh kocek puluhan bahkan ratusan juta, bahkan ada pula loft yang harganya lebih mahal daripada membeli rumah beserta tanahnya.
Maklumlah, banyak orang yang lebih mengagungkan prestise dan manyampingkan materi. 'Loteng' yang harganya selangit itu biasanya diisi dengan furnitur yang lengkap, bahkan bisa diisi sesuai selera warna, tipe, maupun tekstur dari pemilik loft.
Tapi, lahan yang terbatas tak jadi halangan untuk memiliki rumah impian. Dengan kreatifitas dan usaha ekstra, home sweet home tetap dapat tercipta. Sumber:Kapanlagi.com ( http://www.kapanlagi.com/a/loft-of-my-life.html )
Loft mulai dikembangkan di Los Angeles pada 2001. Dimana adanya undang-undang yang memaksa penduduk untuk tinggal tidak berdekatan dengan pabrik maupun perkantoran. Hal inilah yang mempelopori para pengembang untuk mendirikan loft-loft baik yang murah sampai yang mahal sesuai kebutuhan.
Saat ini jumlah loft di Indonesia masih bisa dihitung. Mungkin sementara ini hanya ada di Jakarta. Dan jangan ditanya mengenai harganya. Kita harus merogoh kocek puluhan bahkan ratusan juta, bahkan ada pula loft yang harganya lebih mahal daripada membeli rumah beserta tanahnya.
Maklumlah, banyak orang yang lebih mengagungkan prestise dan manyampingkan materi. 'Loteng' yang harganya selangit itu biasanya diisi dengan furnitur yang lengkap, bahkan bisa diisi sesuai selera warna, tipe, maupun tekstur dari pemilik loft.
Tapi, lahan yang terbatas tak jadi halangan untuk memiliki rumah impian. Dengan kreatifitas dan usaha ekstra, home sweet home tetap dapat tercipta. Sumber:Kapanlagi.com ( http://www.kapanlagi.com/a/loft-of-my-life.html )
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat senja supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela. - Joko Pinurbo
Tips:
- Pilih furnitur yang simpel, tak banyak pernik, dan ukuran midi (sedang).
- Salah satu dinding dapat dilapisi kaca yang mampu memberi kesan luas pada ruangan
- Perabot seperti lemari atau rak, pilihlah yang 'built in'
- Beri aksentuasi warna cerah pada bantal sofa, lukisan, atau bentuk furnitur yang bergaris dinamis dan modern
- Aksentuasi cukup pada 1-2 item di satu ruangan untuk pusat perhatian
Gambar: hasil googling dan dokumentasi stephendavid
Saturday, May 9, 2009
Sajadah Merah dan Bisikan Malam
Malam ini. Mulai lagi.
Aku tak pernah keberatan ketika dia menggelarku dan mulai berdiri melihat ke ujung kepalaku. Aku tergelar di ubin dingin kamarnya atas nama kesetiaan. Aku sudah ditakdirkan untuk setia selamanya padanya. Aku dan dia membentuk visual sebuah sudut siku-siku. Dia berdiri dengan tegaknya dengan pakaian semacam jubah lebar dan menutup kaki. Dan aku disini. Menunggunya duduk bercerita. Ada apa lagi dengannya?
Warnaku merah. Dia sangat menyukai warna merah pada benda sepertiku. Entah. Mungkin secara psikologis, warna merah sering diartikan sebagai warna penyemangat (tak usah disangkutpautkan dengan kemarahan.
) Lebih tepatnya warna merah yang selalu kebasahan. Bagaimana tidak, aku sering dimandikan dengan air matanya. Air mata yang mengandung banyak kegelisahan dan keharuan.
Dia sering begitu. Dia suka bercerita apa saja pada Tuhannya. Dia selalu berdoa untuk semua orang yang dia sayangi. Meski kenyataannya, dia bisa saja menjadi orang yang paling menyebalkan seantero jagad. Dia tidak suka dianggap manis karena dia "mendingan" dianggap ngeselin sekalian tapi sebenarnya dia orang yang sangat tidak tegaan. Aneh. Dia salah seorang yang aneh diantara banyak manusia yang aneh.
Dan malam ini si bebal memohon ampun lagi. Sederhana. Orang-orang tak perlu repot "memperhatikan"-nya. Dia hanya perlu dirinya sendiri dan Tuhannya. Semua yang dia lakukan, hanya untuk orang-orang terkasihnya. Dan dia sering bergumam diatasku, katanya dia tak mengharap apa-apa. Selain Tuhan berbaik hati mengampuni atas semua kekhilafan yang telah dia lakukan dan dia sering mengeluarkan air mata itu untuk hal itu... Termasuk malam ini.
Dia hanya duduk diatasku. Diam. Sedetik dua detik dia sering berbisik-bisik. Bisikan itu istigfar. Dan doa untuk sebuah kekuatan.
Aku tak pernah keberatan ketika dia menggelarku dan mulai berdiri melihat ke ujung kepalaku. Aku tergelar di ubin dingin kamarnya atas nama kesetiaan. Aku sudah ditakdirkan untuk setia selamanya padanya. Aku dan dia membentuk visual sebuah sudut siku-siku. Dia berdiri dengan tegaknya dengan pakaian semacam jubah lebar dan menutup kaki. Dan aku disini. Menunggunya duduk bercerita. Ada apa lagi dengannya?
Warnaku merah. Dia sangat menyukai warna merah pada benda sepertiku. Entah. Mungkin secara psikologis, warna merah sering diartikan sebagai warna penyemangat (tak usah disangkutpautkan dengan kemarahan.
Dia sering begitu. Dia suka bercerita apa saja pada Tuhannya. Dia selalu berdoa untuk semua orang yang dia sayangi. Meski kenyataannya, dia bisa saja menjadi orang yang paling menyebalkan seantero jagad. Dia tidak suka dianggap manis karena dia "mendingan" dianggap ngeselin sekalian tapi sebenarnya dia orang yang sangat tidak tegaan. Aneh. Dia salah seorang yang aneh diantara banyak manusia yang aneh.
Dan malam ini si bebal memohon ampun lagi. Sederhana. Orang-orang tak perlu repot "memperhatikan"-nya. Dia hanya perlu dirinya sendiri dan Tuhannya. Semua yang dia lakukan, hanya untuk orang-orang terkasihnya. Dan dia sering bergumam diatasku, katanya dia tak mengharap apa-apa. Selain Tuhan berbaik hati mengampuni atas semua kekhilafan yang telah dia lakukan dan dia sering mengeluarkan air mata itu untuk hal itu... Termasuk malam ini.
Dia hanya duduk diatasku. Diam. Sedetik dua detik dia sering berbisik-bisik. Bisikan itu istigfar. Dan doa untuk sebuah kekuatan.
Wednesday, May 6, 2009
Graduation Day 170309
Saya anggap ini adalah akhir dari cerita lika-liku sebagai mahasiswa. Tapi dunia menganggap hari ini adalah momentum saya harus hadapi dunia yang sebenarnya. Menyesal? Tidak! Saya anggap ini sebagian kecil dari aktualisasi diri. Sekarang, saya masih mempertimbangkan apakah saya ambil beasiswa S2-nya atau tidak.
Terima kasih banyak saya haturkan:
1.papa, mama, opi yg aku sayangi dgn setiap serat tubuhku
2.pak ipul dan pak yudi yg bersedia menjadi dosen pembimbing dan atas segala saran serta bantuan Bapak.
3. Isma, Eka, Puri, Riani, Novi, Zianita. I love u so much, gals...
4. Media Publica. What can i say? I'm 'bigger' because of u
5. Andreas Harsono dan Priyo Santosa atas teori jurnalistiknya
6. Kurie Suditomo Tempo atas kesediaannya utk saya wawancara
7. Mas Pepi yg mau benerin laptop saya
8. Teman2 yg sama2 puyeng di perpustakaan era Nov08-Feb09
9. Estu Santoso. Jangan pernah bosan berusaha & berdoa untuk kita yang lebih baik
10. Anda. Yang telah mewarnai hari-hari saya
Friday, May 1, 2009
Cerita Satu Hari di Kamis Mendung
Siang ini Jakarta diguyur hujan deras yang menggoda untuk tetap diam di rumah dan membatalkan janji dengan teman saya. Tapi, berhubung saya sudah 'gerah' di rumah dan janji adalah utang, saya membuang jauh rasa malas dan bergegas mengurus keperluan saya hari ini.
Ketika saya ke bank (ah, ini karena kecerobohan saya lupa mencatat PIN atm baru. Ugh!), saya ditawari account di salah satu program tabungan yang menurut saya resikonya rendah. Sebut saja kali, ya, saya akhirnya setuju membuka account di Tabungan Rencana Mandiri. Simpelnya, tak ada salahnya menabung, lagipula persyaratannya cukup mudah dan saya bisa memiliki simpanan untuk "keselamatan finansial". Hehee..
Berbincang sebentar dengan Costumer Service, saya 'ditantang' untuk menaruh aplikasi lamaran saya di Bank Mandiri dan dia bisa membantu mengirimkannya karena setiap hari ada supir dari kantor kanwil yang mengantar surat2 kantor. Hmmm, kenapa tidak? Namanya juga usaha dan saya pun tidak berharap banyak, tidak seperti caleg yang stres karena memasang target kelewat tinggi...*hooppp!!! balik lagi ke topik..*
Hujan mereda dan saya sampai di kampus yang sudah diramaikan oleh acara musik (kampus saya kebanyakan 'seniman'. Hihihi). Namun, saya mendapat kabar duka bahwa ayah teman sekelas saya pas kuliah meninggal dunia. Saya berniat ke rumah teman saya selepas solat magrib di kampus karena teman saya ini orangnya sangat baik. Saya dijenguk olehnya ketika saya bolak-balik diinfus di RS dan bersedia mengantar saya ke Palmerah siang bolong.
Pas sebelum solat magrib saya lagi-lagi mendapat kabar duka bahwa ibu dari senior saya di kampus meninggal dunia, juga karena sakit. Lalu, ketika saya melewati daerah Palmerah, juga ada bendera kuning plastik lain yang bertengger di mulut gang. Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun...
Untung saya sampai di rumah teman saya dengan selamat dan tidak nyasar (hahay, saya tidak takut nyasar, kok!). Kondisi teman saya baik dan terlihat sabar, bahkan dia masih sempat cubit-cubit lengan saya, dan balasannya saya selalu menggeram kesal padanya.
Pulangnya, saya meneduh di mulut gang di kedai kopi yang tutup. Di situ ada seorang Bapak sedang nongkrong sambil merokok. Dan saya suka mengobrol dengan orang asing. Tapi ini sangat mengandalkan insting saya dan alhamdulillah selama ini saya dilindungi Allah SWT. Kami bercerita (dan saya bercerita ala kadarnya) dan begitu tahu bahwa saya seorang jobseeker, Bapak itu turut mendoakan agar saya segera dapat kerja (AMIN!) dan insya Allah berjodoh dengan pria yang akan menjemput saya sebentar lagi.
Amin, amin!
Waktu sudah menunjukkan jam 21.30. Ketika sampai di rumah, saya mengobrol sebentar dengan Bapak via telepon. Menanyakan kabar dan mempersilahkan Bapak untuk menyempatkan diri datang ke rumah saat Beliau ke Jakarta Juli nanti bersama cucunya nonton MU! Alhamdulillah, Bapak mau menyempatkan diri datang dan ingin melihat saya (heheee..).
Dan Beliau juga menanyakan apakah saya sudah mendapat pekerjaan. Tumben, saya dengan ringan menjawab, "Belum, Pak. Saya sudah melamar tapi belum dipanggil-panggil." Beliau mengajak saya untuk berpikir pada jalur lain.
"Insya Allah nanti dapat. Allah belum memberi berarti Allah mau kita merasakan prihatin dulu. Kalau langsung dapat nanti kita kesenengan. Yang penting tetap meminta, saya juga sebagai orang tua hanya bisa mendoakan anaknya."
..............
.............
.............
Saya merasa bersyukur dan adem. Bagaimana tidak, saya memiliki dua Bapak dan Bapak yang satu itu sangat mampu menentramkan hati saya. Doaku untuk Bapak dan keluarga disana, semoga selalu diberkahi kesehatan dan keselamatan. Matur sembah nuwun, Pak.
P.S; Turut berduka cita atas wafatnya ayahanda Bari di Rawa Belong dan ibunda Bang Rahmat MP di Klender. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan keluarga diberi ketabahan. Amin.
Ketika saya ke bank (ah, ini karena kecerobohan saya lupa mencatat PIN atm baru. Ugh!), saya ditawari account di salah satu program tabungan yang menurut saya resikonya rendah. Sebut saja kali, ya, saya akhirnya setuju membuka account di Tabungan Rencana Mandiri. Simpelnya, tak ada salahnya menabung, lagipula persyaratannya cukup mudah dan saya bisa memiliki simpanan untuk "keselamatan finansial". Hehee..
Berbincang sebentar dengan Costumer Service, saya 'ditantang' untuk menaruh aplikasi lamaran saya di Bank Mandiri dan dia bisa membantu mengirimkannya karena setiap hari ada supir dari kantor kanwil yang mengantar surat2 kantor. Hmmm, kenapa tidak? Namanya juga usaha dan saya pun tidak berharap banyak, tidak seperti caleg yang stres karena memasang target kelewat tinggi...*hooppp!!! balik lagi ke topik..*
Hujan mereda dan saya sampai di kampus yang sudah diramaikan oleh acara musik (kampus saya kebanyakan 'seniman'. Hihihi). Namun, saya mendapat kabar duka bahwa ayah teman sekelas saya pas kuliah meninggal dunia. Saya berniat ke rumah teman saya selepas solat magrib di kampus karena teman saya ini orangnya sangat baik. Saya dijenguk olehnya ketika saya bolak-balik diinfus di RS dan bersedia mengantar saya ke Palmerah siang bolong.
Pas sebelum solat magrib saya lagi-lagi mendapat kabar duka bahwa ibu dari senior saya di kampus meninggal dunia, juga karena sakit. Lalu, ketika saya melewati daerah Palmerah, juga ada bendera kuning plastik lain yang bertengger di mulut gang. Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun...
Untung saya sampai di rumah teman saya dengan selamat dan tidak nyasar (hahay, saya tidak takut nyasar, kok!). Kondisi teman saya baik dan terlihat sabar, bahkan dia masih sempat cubit-cubit lengan saya, dan balasannya saya selalu menggeram kesal padanya.
Pulangnya, saya meneduh di mulut gang di kedai kopi yang tutup. Di situ ada seorang Bapak sedang nongkrong sambil merokok. Dan saya suka mengobrol dengan orang asing. Tapi ini sangat mengandalkan insting saya dan alhamdulillah selama ini saya dilindungi Allah SWT. Kami bercerita (dan saya bercerita ala kadarnya) dan begitu tahu bahwa saya seorang jobseeker, Bapak itu turut mendoakan agar saya segera dapat kerja (AMIN!) dan insya Allah berjodoh dengan pria yang akan menjemput saya sebentar lagi.
Waktu sudah menunjukkan jam 21.30. Ketika sampai di rumah, saya mengobrol sebentar dengan Bapak via telepon. Menanyakan kabar dan mempersilahkan Bapak untuk menyempatkan diri datang ke rumah saat Beliau ke Jakarta Juli nanti bersama cucunya nonton MU! Alhamdulillah, Bapak mau menyempatkan diri datang dan ingin melihat saya (heheee..).
Dan Beliau juga menanyakan apakah saya sudah mendapat pekerjaan. Tumben, saya dengan ringan menjawab, "Belum, Pak. Saya sudah melamar tapi belum dipanggil-panggil." Beliau mengajak saya untuk berpikir pada jalur lain.
"Insya Allah nanti dapat. Allah belum memberi berarti Allah mau kita merasakan prihatin dulu. Kalau langsung dapat nanti kita kesenengan. Yang penting tetap meminta, saya juga sebagai orang tua hanya bisa mendoakan anaknya."
..............
.............
.............
Saya merasa bersyukur dan adem. Bagaimana tidak, saya memiliki dua Bapak dan Bapak yang satu itu sangat mampu menentramkan hati saya. Doaku untuk Bapak dan keluarga disana, semoga selalu diberkahi kesehatan dan keselamatan. Matur sembah nuwun, Pak.
P.S; Turut berduka cita atas wafatnya ayahanda Bari di Rawa Belong dan ibunda Bang Rahmat MP di Klender. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan keluarga diberi ketabahan. Amin.
Friday, April 10, 2009
Harapan / Kenyataan
Di tengah ketidakpastian. Terus berdoa kepada Tuhan bahwa ia mampu menjalani semua. Di bawah purnama, ia hirup hawa jalanan berpolutan. Memejamkan mata meyakinkan diri semua akan berjalan baik. Menanamkan benak bahwa Tuhan selalu bersamanya. Aliran darah pun menderas seiring kuatnya hati yang berharap. Membuka mata. Meraba kembali kenyataan. Tapi, yang disayanginya menggenggamnya lembut. Seolah juga dapat merasakan. Tanpa harus berucap, tanpa harus berseru. Bahwa mereka akan menghadapinya bersama.
040909
Sudirman
040909
Sudirman
Tuesday, February 17, 2009
Catatan Hati di Setiap Sujudku
Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Religion & Spirituality |
Author: | Asma Nadia, dkk |
Di setiap udara yang kau temukan
Di sana akan kau jumpai Allah
Yang senantiasa mendengar doamu
Kalau aku ditanya tentang bait di atas, aku bakal jawab, “Iya. Gue bangeeett..!” Setiap aku mau tidur, bangun tidur, selagi bengong di kamar mandi, selagi jalan kaki (pokoknya ‘me time’) aku sering review apa yang sudah terjadi dan membayangkan apa yang akan terjadi. Alhamdulillah, aku bisa berpikir objektif jadi lebih santai.
Eh, tahun ini kita berdua sama-sama punya target lulus, ya? Makanya kita lagi rajin-rajinnya salat. Hehee. Ada maunya. Tapi, nyadar gak sih kalau Allah memang suka dipinta? Dia Yang Maha memampukan yang tak berdaya. Dia yang menjadi segenap tumpuan doa. Dan Dia suka dirayu, kita mengiba pada-Nya. Siapa sih yang tidak suka dirayu sama seseorang yang kita sukai?
Dan kita hanya perlu meminta. Insya Allah Dia akan memberi jalan yang tidak terduga.
Semoga usiaku yang ke-22 ini segalanya dilancarkan oleh Allah dan diberi kekuatan apapun yang terjadi. Walau aku masiih punya banyak salah, bisa jadi orang yang jahat, tapi Allah tetap memberikan aku karunia yang tak ternilai; mama papa, adik, sahabat, mas Tatu, rezeki sehat dan napas di ruang matahari yang selalu bersinar berganti dengan bulan yang malu-malu temaram. Kadang aku kalau lagi waras sering terbersit, kita semua kecil banget. Ini sebuah insting. Perasaan. Bahwa ada sesuatu zat yang besar. Allahu Akbar.
Tuesday, February 10, 2009
A-Score-Fetish
Jumat kemarin (6/2) saya ngobrol dengan salah satu wartawan Tempo di kantornya berkaitan dengan wawancara soal Laskar Pelangi yang menjadi objek penelitian saya.
Ternyata fisiknya mungil tapi tipikal wartawan, ngomongnya ceplas-ceplos. (haha..saya tidak tahu. Tapi sejauh ini saya mengenal mereka seperti itu). Saya panggil dia, Mbak Kurie. Orangnya santai dan saya selalu menghargai orang yang memperlakukan orang yang baru dia temui tanpa harus kaku dengan segala manner. Kami mengobrol santai di ruang rapat yang kosong sembari dia melahap bakmi ayamnya. Dan saya tahu dia pintar.
Tidak bisa dihindari kami akan berbincang di luar soal penelitian. Awalnya saya menanyakan pola kerja dan bagaimana Tempo mendidik wartawannya, sampai akhirnya saya merasa percakapan siang itu memang klik. Nyambung.
Entah bagaimana mendeskripsikan bagaimana orangtua saya mendidik anaknya. Yang jelas, harus rajin sekolah dan melaksanakan perintah Allah SWT. Saya tidak brilian, tapi saya juga tidak bego-bego amat. Dan sekali saya 'dendam' akan nilai saya yang jeblok, saya bisa menjadi orang yang sangat mengagungkan nilai A.
Kelihatannya saja saya orangnya santai. Padahal di kepala sudah banyak target tapi saya tidak akan menunjukkannya. Karena saya suka sebal dengan orang yang terlalu ambisius mengejar nilai bagus (ingat 'kan masa2 sekolah dulu, ada teman yang kelihatan cari muka?). Tapi adik saya tidak begitu, kok.
Oke, kembali pada obrolan saya bersama Mbak Kurie. Tempo memberlakukan cukup ketat untuk 'menjaga' atau 'mendepak' wartawannya. Singkatnya, jika performa seorang wartawan itu dinilai bagus oleh rekan dan atasannya, dia survive.
"Jadi apakah itu (atmosfir kompetisi) yang membuat Mbak Kurie betah disini?" tanya saya sembari memasukkan majalah ke dalam tas.
"Hmmm..," gumamnya sambil mengaduk-aduk sisa gulungan mie di piringnya. "Saya jadi ingat ketika saya mengambil master di luar negeri. Saya nguping ketika ada seorang anak yang menggerutu bahwa dia ingin semuanya cepat selesai sehingga dia tidak usah memikirkan nasib nilainya lagi. Well, menurut saya itu gak mungkin. Ketika dia sudah lulus dan harus bekerja, nilai yang dia butuhkan lebih besar lagi dan di bangku kuliah belum ada apa-apanya. We must survive."
"Hahahaa. Ya. Justru semua dimulai ketika sudah lulus," ujar saya pelan.
Mungkin bagi yang sudah terbiasa memburu nilai A, sudah memiliki bekal dasar untuk bertempur nanti di dunia kerja. Ah, perasaan saya jadi tidak enak...
Sunday, February 8, 2009
A Night in The Old Town
Actually, this is my “little project”. I have some intentions to re- design of my life. I think I should do some advantage things to improve my English, for instance, because I have less grammar. Okay, so I will tell u about my happiness because we sometimes must bored if someone tells u about sadness, right? (but it’s all OK if u had very generous friends).
On beautiful Wednesday afternoon, I and Puri treated our college friends at Blok M, somewhere in South Jakarta and many young people hang out with their fellows there. I know even though we’re slim women but we have an enormous taste for food. Any kinds of halal-food. So, we ate roasted chicken at the edge of Blok M area. And ribs. Ooohhh..what a food! ( I don’t tell u where the restaurant is. They don’t endorse us. Hahaha)
We’re women who called “wonder women”. While we’re together, we have to do some adventurous. No, no..we don’t want to go to malls. It just waste our (limited) budget. We usually do some fun, cheap, and the point is we take many pictures. Narcissism! FYI, Jakarta has no art if it only was built for jet-set-places. Since Jakarta has many artsy spots, we decided to get insane at Kota Tua. In English: Old Town. Whooo… (for more information, check it out: kotatua.blogspot.com. Or u can googling, guys, for details).
We know, the best thing in the world is when we’re happy, all beloved people laugh with us. But once we’re in sorrow, they will serve their shoulders with pleasure. I hope we’re belong together. Without stabing each other..
Friday, January 16, 2009
TERIMA KASIH ATAS UJI COBA JAM MASUK SEKOLAH 6.30
Memang saya sudah kuliah dan sebentar lagi akan lulus
(amin, amin, amin….!!!). Tapi, jelas hal ini mencuri perhatian saya karena saya pernah menjadi anak sekolah dan adik saya pun sekarang masih usia sekolah. Kalau dalam keilmuan yang saya pelajari, saya dan persoalan ini memiliki “proximity” (kedekatan).
Jumlah anak sekolah hanya sekian persen dibanding jumlah pekerja kantoran dan pengguna lalu-lintas lainnya. Ibu-ibu (dan supir kalau punya supir pribadi) harus bangun lebih pagi dan waktu belajar anak-anak jadi kepagian.
Subscribe to:
Posts (Atom)