Tuesday, February 10, 2009

A-Score-Fetish

 
Jumat kemarin (6/2) saya ngobrol dengan salah satu wartawan Tempo di kantornya berkaitan dengan wawancara soal Laskar Pelangi yang menjadi objek penelitian saya.

Ternyata fisiknya mungil tapi tipikal wartawan, ngomongnya ceplas-ceplos. (haha..saya tidak tahu. Tapi sejauh ini saya mengenal mereka seperti itu). Saya panggil dia, Mbak Kurie. Orangnya santai dan saya selalu menghargai orang yang memperlakukan orang yang baru dia temui tanpa harus kaku dengan segala manner. Kami mengobrol santai di ruang rapat yang kosong sembari dia melahap bakmi ayamnya. Dan saya tahu dia pintar.

Tidak bisa dihindari kami akan berbincang di luar soal penelitian. Awalnya saya menanyakan pola kerja dan bagaimana Tempo mendidik wartawannya, sampai akhirnya saya merasa percakapan siang itu memang klik. Nyambung.

Entah bagaimana mendeskripsikan bagaimana orangtua saya mendidik anaknya. Yang jelas, harus rajin sekolah dan melaksanakan perintah Allah SWT. Saya tidak brilian, tapi saya juga tidak bego-bego amat. Dan sekali saya 'dendam' akan nilai saya yang jeblok, saya bisa menjadi orang yang sangat mengagungkan nilai A.

Kelihatannya saja saya orangnya santai. Padahal di kepala sudah banyak target tapi saya tidak akan menunjukkannya. Karena saya suka sebal dengan orang yang terlalu ambisius mengejar nilai bagus (ingat 'kan masa2 sekolah dulu, ada teman yang kelihatan cari muka?). Tapi adik saya tidak begitu, kok.

Oke, kembali pada obrolan saya bersama Mbak Kurie. Tempo memberlakukan cukup ketat untuk 'menjaga' atau 'mendepak' wartawannya. Singkatnya, jika performa seorang wartawan itu dinilai bagus oleh rekan dan atasannya, dia survive.

"Jadi apakah itu (atmosfir kompetisi) yang membuat Mbak Kurie betah disini?" tanya saya sembari memasukkan majalah ke dalam tas.

"Hmmm..," gumamnya sambil mengaduk-aduk sisa gulungan mie di piringnya. "Saya jadi ingat ketika saya mengambil master di luar negeri. Saya nguping ketika ada seorang anak yang menggerutu bahwa dia ingin semuanya cepat selesai sehingga dia tidak usah memikirkan nasib nilainya lagi. Well, menurut saya itu gak mungkin. Ketika dia sudah lulus dan harus bekerja, nilai yang dia butuhkan lebih besar lagi dan di bangku kuliah belum ada apa-apanya. We must survive."

"Hahahaa. Ya. Justru semua dimulai ketika sudah lulus," ujar saya pelan.

Mungkin bagi yang sudah terbiasa memburu nilai A, sudah memiliki bekal dasar untuk bertempur nanti di dunia kerja. Ah, perasaan saya jadi tidak enak...


No comments:

Post a Comment