Saturday, August 29, 2009

Jihadnya Jihan

Aku teringat kala itu menjelang senja di kota kecil sebelah selatan ibukota. Ia orang yang pendiam namun ramah. Tapi yang aku ingat, senyumnya yang manis kala kami berkenalan dan ia menyebut namanya: Jihan. Ia selalu melewati toko sepeda, toko tempat aku bekerja, dan menyapa penjual lontong sayur yang mangkal depan toko. 


Saat bulan puasa, aku tambah sering melihatnya, hingga suatu saat waktu mempertemukan kami untuk saling mengenal. Aku kira ia datang sendiri setiap kali tarawih di masjid. Tapi, tidak. Ia selalu menemani seseorang. Perempuan tua yang aku tahu ibunya Jihan. Saat aku bertanya mana anggota keluarga yang lain, Jihan lagi-lagi hanya tersenyum. "Tak ada. Saya hanya bersama mamak."

Perlu kesabaran untuk menekan rasa penasaranku agar bisa mengetahui riwayat keluarganya. Entah kenapa, Jihan seperti memiliki magnet yang tak biasa dimataku. "Mengapa saya harus menceritakannya padamu, Ridwan?" tanya Jihan sendu. Aku hanya mengedikkan bahu.

Sampai pada akhirnya, Jihan berkenan menceritakan keluarganya. Ibunya yang renta, Jihan yang harus bekerja siang malam, Ayahnya yang telah tiada, dan kakaknya yang pergi entah kemana.

"Abang sudah lama pergi." Aku terus menyimak tuturannya. "Katanya dia ingin belajar, berilmu. Tapi saya enggak ngerti. Tapi sekarang saya mulai tahu, apa yang dimaksudnya 'belajar'," ungkap Jihan dengan menekan volume suara pada kata 'belajar'.

"Lantas, belajar apa?" Akhirnya aku bertanya.
Jihan menatap mataku sebentar, lalu memalingkan muka. "Belajar bagaimana caranya ke surga."

Lama di otakku seperti terputar film hitam putih rekaanku sendiri mencocokkan adegan dari apa yang diceritakan Jihan. "Dia bertahun-tahun enggak pulang sampai bapak meninggal dan mamak sakit-sakitan. Dia terlalu jauh belajar, kurasa."

Aku menelan ludah. Masih menantikan cerita-cerita Jihan. "Sampai saya berjanji pada diri sendiri dan Allah, jika abang pulang, saya akan mengenakan kerudung, menutup aurat....," kata Jihan sambil menerawang.

Aku gatal untuk tidak bertanya. "Kenapa harus menunggu abangmu?" Lalu aku menyesal bertanya sebab mata Jihan mulai berkaca-kaca.

"Entah. Tapi akan saya tunjukkan sama abang kalau belajar itu tak perlu jauh-jauh sampai tak ada kabar dan menelantarkan keluarganya. Akan saya tunjukkan jihad itu tak perlu menyengsarakan banyak orang. Akan saya beri tahu bahwa jihad itu... jihad itu...."

Dan gawat. Jihan mulai menangis. Aku bingung bukan kepalang untuk menenangkannya. Di tempat sepi begini, terlalu mengkhawatirkan menemui sepasang anak muda duduk berdua dan si perempuan menangis kencang. Belum sempat aku bersuara, Jihan mengeluarkan robekan kertas koran berisi daftar nama orang-orang yang diburu polisi karena melakukan pengeboman.

Aku tertegun.

"Akan saya teriak di depan muka dia bahwa kita bisa berjihad. Menjaga nama baik dan mengurus orangtua dan membantu saudara sendiri itu jihad, bersekolah sampai menuntut ilmu untuk menyebar pengetahuan dan kebaikan itu jihad, tetap jujur diantara yang munafik itu jihad, bekerja seperti anjing demi melanjutkan hidup dan berusaha keras menjemput rejeki dari Allah juga jihad. Hidup kita kan sudah susah, Ridwan, apa yang bisa kita perbuat selain itu?"

No comments:

Post a Comment