
Sebelum memutuskan 'yes, I do', saya sudah sangat menyadari bagaimana ritme kehidupan kami berdua nanti. Walau saya tidak bisa membohongi diri sendiri, sebagai perempuan ada saat dimana saya sangat dramatik ingin disamping si Mas-e 24/7. Toh, saya dan dia tetap melangkah maju. Saya juga memiliki Tante dan Kakak Ipar yang mandiri membesarkan anak-anaknya meski suaminya harus bekerja jauh sekali dari rumah dan pulang hanya beberapa kali dalam setahun. Jangan lebay, itu nasihat saya kepada diri saya sendiri. Ajaibnya Mas Estu juga mengatakan seperti itu pada saya
Karena kesibukan kami, sebisa mungkin memanfaatkan waktu berkualitas yang ada untuk berdua. Apalagi kami masih tinggal di rumah orangtua. Saya adalah pekerja kantoran standar, sedangkan Mas-E seorang (heemm...yeah) setengah seniman yang banyak jadwalnya. Sebagai wartawan, dia hidup dari sore sampai tengah malam, tak jarang sampai dini hari. Akhir pekan masih ada side-job yang dia tuntaskan. Perbedaan siklus hidup kami sempat menjadi pertanyaan tersendiri oleh kedua orangtua saya. Tapi, saya bangga, kok, apabila dijuluki "istri yang mandiri"
Yang terpenting kita semua juga sudah paham teorinya, yaitu saling percaya. Mas-E adalah tipikal pria supel yang sangat menyenangkan, jadi temannya segudang. Kalau saya suka menuntut harus punya waktu berduaan sesering mungkin dan mengekangnya, mungkin kami tidak akan pernah menikah. Hahaha. Jadi, sepulang kantor dan beberes di rumah atau melakukan tugas lainnya, saya segera tidur. Suami pulang dini hari, saya pun bangun. Dan itu rata-rata waktu "ketemu"-nya satu jam sampai akhirnya kami tertidur lagi. Itulah kenapa saya menyebut diri saya, "One-Hour-Wife", karena di pagi harinya Mas-E masih tidur. Tapi, saya tak pernah absen menciuminya sebagai tanda pamit berangkat kerja
Saya baca beberapa artikel di majalah maupun website, ternyata saya tidak sendiri. Banyak juga pasangan terutama di kota-kota besar yang situasinya mirip-mirip kami. Kami sebagai suami-istri pastinya melakukan perannya masing-masing dalam berumah tangga. Tapi, kami berdua juga sadar bahwa kita harus berkompromi dengan waktu tanpa harus menyerah karena kesibukan masing-masing. Jadi, ponsel menjadi alat penghubung maha penting bagi pasangan yang seperti ini. Tapi, soal ponsel ini tak jarang jadi bikin kesal satu sama lain, karena saya lebih suka sms-an, sedangkan si Mas-e telpon. Berantem pun sering, kok. Hehehe.
Waktu berdua pun diakali sedemikian rupa supaya tetap dibilang "pacaran". Saya ikut suami nongkrong bersama teman-temannya, begitupun dia. Shalat berjamaah juga menjadi salah satu cara supaya tetap "berduaan".
Last but not least, saya bangga, kok, ketika saya melenggang sendirian dan menjawab, "Suamiku kerja, kan dia wartawan di koran, jadi deadline-nya tiap hari sampai malam," saat ditanya teman-teman kenapa si Mas-E tidak ikut. Entah kenapa saya bangga, mungkin karena dasarnya saya terbiasa "bebas" dan Mas Estu juga sangat mengerti kelakuan saya yang (malah) pegal-pegal jika kelamaan diam di rumah. Oh ya, sepertinya dari zaman nenek buyut sampai sekarang kuncinya tetap komunikasi, terbuka luar dalam atas bawah, saling mendukung, dan menjalani semua karena ibadah.
Lucu, karena saya tidak bisa membayangkan memiliki seorang suami yang hidupnya sangat teratur seperti robot.
No comments:
Post a Comment