Friday, March 31, 2017

To-Be-(More)-Courageous Survivor!

Tepat seminggu lalu, dunia memperingati hari TB sedunia, 24 Maret. Tanpa bermaksud apa-apa, saya tidak menyangka akan menjadi bagian di dalamnya 😆 Sebenarnya, agak konyol, sih, saya curhat di blog ini. Toh, orang akan bisa membaca blog ini kan, ya? Tapi mungkin cerita saya ini bisa diambil sedikit hikmah buat Anda. Bagaimanapun itu. Karena ternyata saya dan Anda bisa jadi jauh lebih beruntung.

I saw a sign. Ada kejadian berulang. Entah ini sebuah tanda atau apa. Tahun 2007, akhir Januari saat saya dirawat inap karena demam berdarah, sempat terbersit di kepala saya ini, DB bisa membuat saya mati jika telat diobati. Tapi, kewaspadaan itu hanya sebentar saja. Tiga bulan kemudian, kecelakaan lalu lintas membuat saya 6 bulan harus berada di rumah dan cuti kuliah. Disaat waras, saya pikir saya diberi kesempatan hidup kedua oleh AllahSWT. Disaat otak saya miring (Hehehe..), air mata saya berderai-derai saat mau tidur dan saat sembahyang.

Etapi, memang Allah itu Maha Bercanda, ya. Setelah masa tenang saya memasuki usia 20-an, saya seperti diberikan "jalan terbaik". Sepuluh tahun kemarin merupakan usia 20-an yang sangat berkesan. Tidak selalu diatas, tidak juga dibawah terus. Tapi, ada banyaaaaak sekali pembelajaran yang membuat saya bergumam, "Ooohh, ini tho maksud-mu Gusti Allah," Sambil senyam senyum sendiri.

Satu dekade sudah berlalu. Di ulang tahun saya yang ke-30 ini, ternyata saya sakit. Demam naik turun, badan lelah luar biasa, sesekali batuk kering,dan nyeri dada sebelah kanan, terutama saat tidur menghadap kanan. Bolak-balik rawat jalan, obat yang diberikan tidak mempan, akhirnya saya dipaksa suami untuk hospitalized. Dokter observasi khususnya di bagian dada yang diduga menjadi keluhan utama. Foto thorax, tes mantoux, tes dahak, cek darah, cek USG, akhirnya saya ditangani dokter paru dan disarankan untuk sedot cairan yang memenuhi pleura sebelah kanan. Dikira cairannya hanya 500 ml, ternyata pas disedot mencapai 1.2 L. Takjub juga sih, kok gak berasa gitu ya, di badan? Sampai saya keluar RS, dokter paru belum final memvonis saya TB, walaupun 90% mengarah ke penyakit itu. Meski tes mantoux negatif, ya. Lima hari nginep di RS dan keluar hari Senin, Jumatnya saya diminta untuk kontrol pertama dengan membawa semua hasil lab dan radiologi selama saya diopname.

Yak, Sodara- sodara, ternyata betul sekali prediksi dokternya. Saya ingat betul, 10 Februari 2017, saya officially mengidap TB 😊. Analisis cairan pleura yang menguatkan perkataan dokter karena ada bakteri TB yang hidup di cairan tersebut. Seems like.... well, okay, hmm.. any better? Hehehee..  Alhamdulillah, TB saya ada di pleura dan tidak menyebabkan menular. Asal saya bersedia diterapi selama 9 bulan dan tidak putus obat. Dan saya baru tahu, pengobatan TB itu gratis, tis, di luar suplemen, ya. Saya sempat cari second opinion dengan membawa rekam medis. Pernyataan dokter kedua senada. TB. Okay, then! The show must go on, Dear!

Otak miring saya kambuh lagi. Gimana dengan program hamil saya? Kalau melamar kerja dan MCU, sudah pasti ga diterima, terus piye? Terus, lanjut biaya recovery kalau saya resign kerja gimana? Gimana stigma orang-orang sekeliling sama penderita TB? Karena aku berkaca pada diriku sendiri yang punya persepsi lain terhadap mereka (hikkss.. aku menyesal!). Makin tua, kok, makin gak karuan gini ya, mikirnyaaaa...  Saya juga gak nyangka, perasaan saya makin sensitif sampai suami selalu jadi korban kelimbungan saya ini. Saya memutuskan untuk merahasiakan dulu penyakit saya ini kepada orang-orang terdekat, termasuk orangtua saya. Jadi, sekarang yang betul-betul tahu cerita saya sakit TB hanya suami, adik saya, dan dua orang di kantor. Tapi, dukungan suamilah yang paling.... hmm... stop aja deh, bisa-bisa saya mbrebes mili dan gak lanjut ngetik 😐

Hampir dua bulan ini, efek samping yang saya rasakan adalah sedikit mual, jantung berdebar-debar (hanya di minggu pertama minum obat), buang air besar jadi lebih lancar di pagi hari(untung tidak diare), dan rasa letih yang masih belum hilang. Saya berusaha untuk menjalani hidup seperti biasa. Sampai saya menulis ini, saya sudah seperti orang normal saja, kecuali selalu harus ingat bawa obat kemana-mana setiap hari dan rutin kontrol sesuai jadwal yang diberikan dokter.

Jujur, meski saya optimis penyakit saya ini akan sembuh dengan obat dan support dari suami, tapi secara mental dan psikologis, saya benar-benar limbung. Cemas dan stres yang sangat sangat sangat tinggi, seakan ini puncaknya, karena sampai lelah ke badan juga. Sebenarnya, saya kasihan sama suami saya dan menahan perasaan saya ini, tapi malah hanya ibarat menunggu gunung api meledak saja. Sebab, apapun bisa mengganggu pikiran dan hati saya.

Nyatanya, sabar saja gak cukup. Masih ada ikhlas yang sepertinya, kok, susah ya di tahap itu. Itu membuat saya kepingin nangis sendiri. Seringkali. Mungkin sekarang ini Allah mengajak saya "bercanda". Tapi. saya belum bisa tertawa. Time will heal the pain, ceunah. Saya yakin saya akan bisa tertawa atas candaan Tuhan ini.

Nanti.

Kalau saya udah ngerti.


No comments:

Post a Comment