Desember ini, saya memotong rambut saya super cepak. Suami (harus) mengizinkan. Tetapi, ketika pulang ke rumah orangtua dengan rambut "mbois" seperti ini, pastilah Mama mengkritik dengan alasan dalam agama tidak boleh berlagak atau berdandan seperti pria. Yah, padahal sudah berjuta kali juga saya kemukakan bahwa rambut super cepak sangat membantu saya merawat rambut dan serba irit. Dari shampoo, waktu pengeringan rambut, sampai tidak perlu sering-sering ke salon, kecuali memotongnya.
2013 ini, ada isu yang menggelitik saya (lagi-lagi) sebagai perempuan. Lokalisasi terkenal di Surabaya berencana akan digusur atau dibongkar. Ditiadakan. Banyak menuai pro dan kontra. Saya ada di pihak kedua. Kenapa? Pendidikan seks sehat tersasar tempatnya, tidak membuat kotor daerah lain karena ada lokalisasi, dan kita mudah menembak para pria hidung belang dengan mudah karena terlacak lokasi dimana ia sering "bermain". Itu logika sederhana. Bukan masalah agama. Karena orang boleh menghujat, menolak pelacuran, dan sebagainya. Tapi, solusinya apa? Apakah perempuan penyebabnya? Bagaimana dengan pria?
Selama masih ada kelamin, praktik terlarang ini sayangnya akan tetap ada. Kita hanya bisa mulai dari diri sendiri untuk mencegah dan melindungi diri dan orang-orang tercinta. Juga, tidak melakukan seks berisiko.
Saya jadi ingat salah satu scene favorit di film Persepolis.
Marjane remaja sedang berlari, lalu disemprit oleh polisi syariat atau semacamnyalah. Katanya, jika berlari, pinggul dan bokongnya bergerak-gerak dan mengganggu syahwat pria. Marjane pun marah dan menyuruh para pria itu untuk tidak melihat ke bokongnya. Nah!
Begitulah. Perempuan. Mengapa perlu ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan? Tidak Pemberdayaan Pria?
Barangkali karena kita rawan.
Ya. Rawan Terpojokkan.
mungkin begitu mbak perempuan dalam sejarah manusia lebih sering diposisikan sebagai obyek
ReplyDeleteHehehe... obyek yang complicated
Delete