Saturday, November 26, 2011

Gengsi Di Ujung Kaki



Sepatu.
Barang yang satu itu tak jarang membuat saya garuk kepala. Pertama, kaki saya termasuk spesial karena stok barang nomor sepatu 40 atau 41 tentu lebih sedikit daripada nomor sepatu wanita Indonesia pada umumnya, yakni 38 atau 39 yang dominan menghiasi etalase toko. Jadi, saya sering girang sendiri begitu ada sepatu di etalase yang saat saya coba, langsung pas! Tidak perlu meminta bantuan pramuniaga mencarikan nomor sepatu yang sesuai ukuran kaki saya.

Kedua, harga. Umumnya saya lebih mudah menemukan banyak pilihan sepatu di mal-mal. Apalagi dari merek luar negeri karena konsumennya juga rata-rata berbadan bongsor. Tapi, entah kenapa saya selalu menjatuhkan pilihan kepada sepatu yang harganya agak lebih mahal. Yeah, ada harga ada rupa. Jadi, saya jarang membeli sepasang sepatu dari toko-toko di ITC karena memang ukurannya jarang ada yang pas *huhuhu padahal ‘kan bisa hemat yaaa…*
Ketiga, tinggi hak sepatu. Oh, Tuhan. Saya baru pakai sepatu dengan hak tujuh senti selama 6 jam saja, sakit uratnya sampai ke leher. Salut deh buat para penari yang bisa loncat-loncat dengan hak stiletto. Atau lihat mbak-mbak kantoran lari kejar bis pakai high heels. Kalau saya, makasiiiihhh…. Tapi, saya juga sering naksir kok dengan model sepatu high heels yang cantik-cantik. Andai saya bisa memakainya setiap hari…
Jadi, saya sering menggerutu sendiri, cewek-cewek kok pada tahan, ya?
Tapi, saya akui, ada harga memang harga rupa. Ada beda ketika mengenakan sepatu berharga seratus ribu rupiah dan diatas setengah juta rupiah (dihadiahkan oleh tante saya yang bikin saya nganga karena beli sepatu seperti beli gorengan). Sepatu pun digambarkan benda yang istimewa, sampai pangeran mencari-cari ke seantero negeri, siapa pemilik sepatu kaca di dongeng Cinderella (ehm, agak maksa perbandingannya, sih). Apa sebab?
Dilansir pada tahun 50-an, sepatu stiletto dan sepatu keds mulai menjamur.  Sedangkan sepatu bersol karet sudah dibuat sejak 1800-an. Goodyear (iyah, yang kita tahu merek ban itu) membuat sepatu karet yang dinamai Keds. Makanya, sekarang sneakers juga akrab kita sebut “kets”. Seperti kita beli air mineral di mana pun, kita bilangnya Aqua. Walau yang kita temui merek Club, kita pun tak menolak.
Sepatu tak lagi dipentingkan dari segi fungsinya, tapi model dan mereknya. Selera sepatu saya standar, sepatu datar dan sepatu karet. Koleksi sepatu saya pun sedikit. Belum sampai memenuhi jari di dua tangan saya. Saya punya teman pengoleksi sepatu. Belum sebanyak mantan ibu Negara Filipina Imelda Marcos yang punya ribuan pasang sepatu (sampai ada museumnya, lho…), tapi cukup memenuhi sebagian besar warna baju miliknya. Senin pakai cardigan hijau, sepatunya juga hijau. Selasa, belt-nya warna merah, eh, sepatunya juga merah. Dan high heels semua. Saya tahu ada banyak perempuan seperti ini. “Aku gak pede pakai sepatu yang gak matching. Good shoes make my day,” begitu ungkapannya. Ho-oh! Saya cuma angguk-angguk kepala.
Bagaimana dengan pria? Tak usah jauh-jauh, suami saya sendiri penyuka sepatu olahraga bermerek dari mulai merek yang sepatunya punya tanda bergaris tiga, yang ada gambar macan loncat, tanda centang, dan saya suka ngomel kalau dia mau pergi ke toko sepatu olahraga di mal sendirian. Tapi, hasrat belanja sepatunya masih wajar, kok, karena tidak menyentuh uang belanja bulanan keluarga ;D
Dan ada kebanggaan tersendiri begitu kita bisa membawa tentengan dus sepatu impian. Hak tinggi itu bisa membuat siluet tubuh tampak ramping dan kaki lebih jenjang. Gaya hidup dan status sosial bisa terbaca dari sepatu-sepatu itu. Dari sol sepatu berwarna merah sampai sepatu berharga miliaran rupiah, ada saja yang membelinya. Atau, beli second asal original, atau, sewa sepatu bermerek saat ke pesta, semua bisa saja. Yang penting, kita bisa sempurnakan diri. Gengsi? Tak tahulah. Mungkin tuntutan lingkungan yang mereka buat sendiri. But, Sigmund Freud said that perfection is just a fiction. Sayangnya, terkadang saya sangat menghargai apa yang bisa saya beli, tapi saya lupa menjaga atas apa yang diberikan gratis oleh Tuhan.
Alhamdulillah, saya dikaruniai sepasang kaki yang saya banggakan karena sudah mau menemani saya setiap hari mengukur Jakarta dari pagi hingga malam. Duh, kaki mulai pegal, nih. Pijat enak kali yaaa…

No comments:

Post a Comment