Kamar saya mau tak mau memang harus dirombak ulang karena akan datang "penghuni baru" dalam beberapa bulan ke depan.
Akhirnya, sasaran pertama saya adalah meja marmer dan lemari buku karena peletakan buku, dvd, alat tulis, juga sampah elektronik seperti hairdryer, mouse, sudah awut-awutan. Bagian yang saya suka dari beres-beres kamar seperti ini (walau saya jarang melakukannya hehe) tak lain menjadi ajang nostalgia. Termasuk dari benda yang saya temukan diantara tumpukan buku dan majalah.
Oooohhh...mereka sudah lama ditinggal tuannya. Prangko-prangko ini warisan dari Mama yang juga sudah "malas" mengkoleksi prangko lebih banyak lagi. Daripada dibuang, jelas lebih long-lasting kalau saya minta. Jadilah prangko-prangko yang tersimpan dalam album sempat menemani hari-hari saya menjadi 'filatelis amatiran'.
Cerita bermula dari keinginan Mama mengoleksi prangko. Gayung bersambut karena ada seorang Paman yang sering berlayar ke luar negeri dan bersedia dititipkan prangko dari negara yang beliau kunjungi. Kebanyakan dari Budapest, Hungaria. Ada juga dari Hong Kong, dan Australia. Saya masih memakai seragam putih merah saat itu. Mengeletek (apa ya kata yang lebih tepat menjelaskannya secara detil ketika mengelupasi prangko yang sudah tertempel dari kertas amplop?) prangko adalah aktivitas yang saya sukai. Ritual menghembuskan napas yang hangat dari mulut, lalu pandangan tajam ke serat-serat kertas yang sedikit demi sedikit tercerai dari belakang prangko. Dan hap! Prangko yang sudah agak melengkung itu pun saya masukkan dengan hati-hati ke dalam stamps album.
Hobi berkorespondensi lewat surat pun makin menambah koleksi prangko. Gara-gara ada rubrik di Majalah Kawanku yang namanya rubriknya saya lupa, memungkinkan pembacanya untuk "mejeng" dan menggaet sahabat pena sesama pembaca Kawanku. Saya adalah salah satu anggota pasifnya. Hahaha. Jika ada cewek yang hobinya dan nge-fans dengan artis yang sama, tak ragu langsung saya kirimi surat untuk berkenalan. Apalagi kalau alamatnya berada jauh di luar Pulau Jawa. Dulu, saya punya sahabat pena dari Bangka Belitung, Grobogan, sampai Papua. Sayang sekali, surat-surat mereka sudah saya buang karena saya kehabisan akal mau ditaruh mana lagi koleksi kaset, majalah, buku, dan dokumen-dokumen pribadi saya lainnya. Hanya prangko dari amplop surat mereka yang tertinggal...
Apakah saya pantas disebut filatelis? Ah, sama sekali tidak. Dibilang filatelis amatiran pun rasanya malu. 14 tahun prangko-prangko itu menemani hidup saya tapi hanya terisi satu album. Kalau niat menjadi filatelis "beneran", rentang belasan tahun tersebut bisa jadi sudah belasan album pula prangko itu dikoleksi, atau mungkin puluhan.
Saya memang orang yang tak pernah tuntas mengoleksi barang apapun. Moody!
Saya pun tidak memiliki kredilitas lebih untuk menjelaskan sejarah, seluk-beluk, riwayat,dan tren prangko sekarang ini. Jadi, link di bawah ini menjadi bagian dari keisengan saya mencari tahu hobi filateli seperti apa.
Semua koleksi prangko kepunyaan saya tak ada yang saya tak suka. Dari gambarnya, bentuknya, keklasikannya, karena masing-masing seperti memiliki ciri, merepresentasikan sesuatu. Sesuatu yang personal, entah itu dari ciri sebuah negaranya, atau goresan tangan pelukisnya.
Setelah saya menulis cerita ini pun, belum ada keinginan untuk menggerakkan kembali kaki saya ke kantor pos. Meski saya masih terbersit keinginan berkirim surat lagi (tapi sama siapa ya?). Karena dulu, Pak Pos yang bertugas di daerah komplek cempaka putih sudah mengenal saya (tapi tidak seakrab seperti di film Letters to God). Dan saya selalu senang mendengar klakson motornya. Pertanda bahwa ada surat yang datang. Seringnya untuk saya dari para sahabat pena.
Sewaktu saya sekolah di Makassar, saya masih surat-menyurat dengan kawan-kawan saya di Jakarta, walau akses email sudah ada. Tapi, memang beda rasanya menerima surat yang ditujukan dengan nama kita tertera di amplop, menyobeki bagian atasnya, membuka lipatan kertasnya, dan membaca pengalamannya. Aiiihhh, dapat surat dari teman perempuan saja sudah senang, gimana dapat surat dari kekasih hati ya? Sayangnya, saya tidak merasakan zaman itu, tapi bisa aja sih dilakukan sekarang, cuma bakalan janggal aja kali ya....
No comments:
Post a Comment