Jakarta.
Kata yang didominasi oleh huruf A. Nama yang angkuh tapi menggoda. Katanya merana tapi tetap kaya. Saya menulis ini tentu akan menghasilkan tulisan yang sangat subjektif. Saya tidak keberatan dibilang anak Jakarta (dengan segala stereotip yang melekat dan sesungguhnya ITU TIDAK ADIL). Saya lebih suka dibilang orang Jakarta. Sebab dari ari-ari saya yang dikubur, suka duka keluarga dan persahabatan, cinta sederhana, juga pengalaman dicopet dan berjejalan di dalam bis kota, saya sudah terglembeng di Jakarta.
Jakarta masuk dalam 12 kota besar di dunia dengan segala historikal yang mengelilinginya, namun sayangnya kota ini tergerus oleh modernisasi yang menyentuh aspek lansekap, arsitektur kota, sampai gaya hidup yang sangat metropolis (saya risih ketika menulis kalimat terakhir tadi).
Jakarta di usianya yang 482 menanggung beban tersendiri. Tak perlu saya tulis lagi ya untuk mengingatkan soal banjir, macet, sampah, dan polusi. Beban kota besar seperti itu (tidak hanya dialami Jakarta) memang akan membuat penduduknya “setengah gila”. Sayangnya, pemerintah DKI juga maju kena mundur kena. Empat hal menyebalkan yang saya tulis di atas tetap menjadi momok yang entah kapan akan benar-benar terselesaikan. Tapi, mungkin lain cerita kalau Jakarta jadi penyelenggara olimpiade. Seperti China, yang merombak kebijakan dan peraturan berkaitan dengan lingkungan akibat parahnya polusi di kota-kota besarnya, misalnya di Beijing, demi suksesnya perhelatan tersebut.
Kilas balik. Tanah Jakarta yang sebenarnya rawa-rawa, yang akhirnya digeruk untuk pembangunan kota menjadikan Jakarta langganan banjir. Saya sempat baca di sebuah artikel, konon, dulu JP Coen sempat ditentang oleh sesama orang Belanda untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat aktivitas publik (pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya) karena kontur tanah yang tidak tinggi (ceritanya orang Belande sono udah ngarti gimane rasanye punya negeri yang tanahnya lebih rendah daripada laut). Salah satu solusinya, ya, Jakarta harus dibangun kanal-kanal. Serahkan saja kepada insinyur Belanda soal ini, begitu kira-kira perintah Gubernur Jenderal saat itu. Kita mah yang inlander nurut-nurut aja.
Sanitasi, apa kabar? Daerah Kelapa Gading, Tanjung Priok, dan area Jakarta Utara lainnya sudah maklum air tanah mereka sudah terasa agak asin sekarang. Akhirnya merembet ke daerah yang terdekat, seperti Sumur Batu, Cempaka Putih, dan sekitarnya. Air tanah sudah terkontaminasi logam dan padatnya pemukiman membuat kebersihan menjadi urusan nomor kesekian. Sekitar awal abad 20, Batavia (Oud Jakarta = jakarta zaman dulu, maksudnya) pernah diserang penyakit menular yang menelan banyak korban, macam kolera dan tifus, seiring dengan Kali Ciliwung yang mulai tercemar sehingga kurang baik untuk dikonsumsi.
Perubahan zaman otomatis akan berdampak pada perubahan gaya hidup, lingkungan, pola pikir, dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Tapi, Jakarta dikuasai oleh orang-orang pendatang sehingga kesadaran untuk merawat dan menjaga kota ini sangatlah kurang. Namanya juga bukan “rumah”-nya sendiri. Mana mau orang repot-repot merawat tempat yang bukan rumahnya? Lantas sekarang, apa yang bisa saya lakukan untuk (dan di ) Jakarta?
Selamat Ulang Tahun Jakarta-ku atas cinta dan segala perjuangan hidup.
Kata yang didominasi oleh huruf A. Nama yang angkuh tapi menggoda. Katanya merana tapi tetap kaya. Saya menulis ini tentu akan menghasilkan tulisan yang sangat subjektif. Saya tidak keberatan dibilang anak Jakarta (dengan segala stereotip yang melekat dan sesungguhnya ITU TIDAK ADIL). Saya lebih suka dibilang orang Jakarta. Sebab dari ari-ari saya yang dikubur, suka duka keluarga dan persahabatan, cinta sederhana, juga pengalaman dicopet dan berjejalan di dalam bis kota, saya sudah terglembeng di Jakarta.
Jakarta masuk dalam 12 kota besar di dunia dengan segala historikal yang mengelilinginya, namun sayangnya kota ini tergerus oleh modernisasi yang menyentuh aspek lansekap, arsitektur kota, sampai gaya hidup yang sangat metropolis (saya risih ketika menulis kalimat terakhir tadi).
Jakarta di usianya yang 482 menanggung beban tersendiri. Tak perlu saya tulis lagi ya untuk mengingatkan soal banjir, macet, sampah, dan polusi. Beban kota besar seperti itu (tidak hanya dialami Jakarta) memang akan membuat penduduknya “setengah gila”. Sayangnya, pemerintah DKI juga maju kena mundur kena. Empat hal menyebalkan yang saya tulis di atas tetap menjadi momok yang entah kapan akan benar-benar terselesaikan. Tapi, mungkin lain cerita kalau Jakarta jadi penyelenggara olimpiade. Seperti China, yang merombak kebijakan dan peraturan berkaitan dengan lingkungan akibat parahnya polusi di kota-kota besarnya, misalnya di Beijing, demi suksesnya perhelatan tersebut.
Kilas balik. Tanah Jakarta yang sebenarnya rawa-rawa, yang akhirnya digeruk untuk pembangunan kota menjadikan Jakarta langganan banjir. Saya sempat baca di sebuah artikel, konon, dulu JP Coen sempat ditentang oleh sesama orang Belanda untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat aktivitas publik (pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya) karena kontur tanah yang tidak tinggi (ceritanya orang Belande sono udah ngarti gimane rasanye punya negeri yang tanahnya lebih rendah daripada laut). Salah satu solusinya, ya, Jakarta harus dibangun kanal-kanal. Serahkan saja kepada insinyur Belanda soal ini, begitu kira-kira perintah Gubernur Jenderal saat itu. Kita mah yang inlander nurut-nurut aja.
Sanitasi, apa kabar? Daerah Kelapa Gading, Tanjung Priok, dan area Jakarta Utara lainnya sudah maklum air tanah mereka sudah terasa agak asin sekarang. Akhirnya merembet ke daerah yang terdekat, seperti Sumur Batu, Cempaka Putih, dan sekitarnya. Air tanah sudah terkontaminasi logam dan padatnya pemukiman membuat kebersihan menjadi urusan nomor kesekian. Sekitar awal abad 20, Batavia (Oud Jakarta = jakarta zaman dulu, maksudnya) pernah diserang penyakit menular yang menelan banyak korban, macam kolera dan tifus, seiring dengan Kali Ciliwung yang mulai tercemar sehingga kurang baik untuk dikonsumsi.
Perubahan zaman otomatis akan berdampak pada perubahan gaya hidup, lingkungan, pola pikir, dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Tapi, Jakarta dikuasai oleh orang-orang pendatang sehingga kesadaran untuk merawat dan menjaga kota ini sangatlah kurang. Namanya juga bukan “rumah”-nya sendiri. Mana mau orang repot-repot merawat tempat yang bukan rumahnya? Lantas sekarang, apa yang bisa saya lakukan untuk (dan di ) Jakarta?
Selamat Ulang Tahun Jakarta-ku atas cinta dan segala perjuangan hidup.
Jakarta oh Jakarta, dulunya kau rawa,sekarang kau menjadi penghidupan jutaan orang..
ReplyDeletewhat a dilemma..
ReplyDeletesaya bkn wong Batavia tapi orang indonesia yg beribu kota di Jakarta, so Jakarta adalah bagian hidup(bernegara)ku juga... (semoga Indonesia lekas sembuh ya...) ^ ^
> rockstarkilled: hihihi.... iya mba yoa... mau cari apa aja juga di Jakarta tinggal sebut.. ;)
ReplyDelete>nurhay: mungkin pengembangan di kota-kota besar lain belum sebanding dengan Jakarta walau kota2 lain juga punya potensinya masing2... harus optimis nantinya akan membaik (thnx udah komen..salam kenal)
sama2, salam kenal juga... (harusnya sy yg ngomong ^^ klupaan ni...)
ReplyDelete