Tuesday, February 17, 2009

Catatan Hati di Setiap Sujudku


Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Religion & Spirituality
Author:Asma Nadia, dkk
Terima kasih, Opie, sudah menghadiahiku buku ini. Ternyata telepati kita nyambung, ya. Aku pengen buku ini dari kapan tahu tapi tertunda terus kalah sama barang lain yang harus aku beli. Bukunya bagus sampai aku gak berhenti baca dari cerita satu sampai terakhir karena dalam buku ini persis kumpulan cerpen tapi nonfiksi. Kamu baca cerita pertama aja udah sedih banget, kan?

Di setiap udara yang kau temukan
Di sana akan kau jumpai Allah
Yang senantiasa mendengar doamu

Kalau aku ditanya tentang bait di atas, aku bakal jawab, “Iya. Gue bangeeett..!” Setiap aku mau tidur, bangun tidur, selagi bengong di kamar mandi, selagi jalan kaki (pokoknya ‘me time’) aku sering review apa yang sudah terjadi dan membayangkan apa yang akan terjadi. Alhamdulillah, aku bisa berpikir objektif jadi lebih santai.

Eh, tahun ini kita berdua sama-sama punya target lulus, ya? Makanya kita lagi rajin-rajinnya salat. Hehee. Ada maunya. Tapi, nyadar gak sih kalau Allah memang suka dipinta? Dia Yang Maha memampukan yang tak berdaya. Dia yang menjadi segenap tumpuan doa. Dan Dia suka dirayu, kita mengiba pada-Nya. Siapa sih yang tidak suka dirayu sama seseorang yang kita sukai?

Dan kita hanya perlu meminta. Insya Allah Dia akan memberi jalan yang tidak terduga.

Semoga usiaku yang ke-22 ini segalanya dilancarkan oleh Allah dan diberi kekuatan apapun yang terjadi. Walau aku masiih punya banyak salah, bisa jadi orang yang jahat, tapi Allah tetap memberikan aku karunia yang tak ternilai; mama papa, adik, sahabat, mas Tatu, rezeki sehat dan napas di ruang matahari yang selalu bersinar berganti dengan bulan yang malu-malu temaram. Kadang aku kalau lagi waras sering terbersit, kita semua kecil banget. Ini sebuah insting. Perasaan. Bahwa ada sesuatu zat yang besar. Allahu Akbar.

Tuesday, February 10, 2009

A-Score-Fetish

 
Jumat kemarin (6/2) saya ngobrol dengan salah satu wartawan Tempo di kantornya berkaitan dengan wawancara soal Laskar Pelangi yang menjadi objek penelitian saya.

Ternyata fisiknya mungil tapi tipikal wartawan, ngomongnya ceplas-ceplos. (haha..saya tidak tahu. Tapi sejauh ini saya mengenal mereka seperti itu). Saya panggil dia, Mbak Kurie. Orangnya santai dan saya selalu menghargai orang yang memperlakukan orang yang baru dia temui tanpa harus kaku dengan segala manner. Kami mengobrol santai di ruang rapat yang kosong sembari dia melahap bakmi ayamnya. Dan saya tahu dia pintar.

Tidak bisa dihindari kami akan berbincang di luar soal penelitian. Awalnya saya menanyakan pola kerja dan bagaimana Tempo mendidik wartawannya, sampai akhirnya saya merasa percakapan siang itu memang klik. Nyambung.

Entah bagaimana mendeskripsikan bagaimana orangtua saya mendidik anaknya. Yang jelas, harus rajin sekolah dan melaksanakan perintah Allah SWT. Saya tidak brilian, tapi saya juga tidak bego-bego amat. Dan sekali saya 'dendam' akan nilai saya yang jeblok, saya bisa menjadi orang yang sangat mengagungkan nilai A.

Kelihatannya saja saya orangnya santai. Padahal di kepala sudah banyak target tapi saya tidak akan menunjukkannya. Karena saya suka sebal dengan orang yang terlalu ambisius mengejar nilai bagus (ingat 'kan masa2 sekolah dulu, ada teman yang kelihatan cari muka?). Tapi adik saya tidak begitu, kok.

Oke, kembali pada obrolan saya bersama Mbak Kurie. Tempo memberlakukan cukup ketat untuk 'menjaga' atau 'mendepak' wartawannya. Singkatnya, jika performa seorang wartawan itu dinilai bagus oleh rekan dan atasannya, dia survive.

"Jadi apakah itu (atmosfir kompetisi) yang membuat Mbak Kurie betah disini?" tanya saya sembari memasukkan majalah ke dalam tas.

"Hmmm..," gumamnya sambil mengaduk-aduk sisa gulungan mie di piringnya. "Saya jadi ingat ketika saya mengambil master di luar negeri. Saya nguping ketika ada seorang anak yang menggerutu bahwa dia ingin semuanya cepat selesai sehingga dia tidak usah memikirkan nasib nilainya lagi. Well, menurut saya itu gak mungkin. Ketika dia sudah lulus dan harus bekerja, nilai yang dia butuhkan lebih besar lagi dan di bangku kuliah belum ada apa-apanya. We must survive."

"Hahahaa. Ya. Justru semua dimulai ketika sudah lulus," ujar saya pelan.

Mungkin bagi yang sudah terbiasa memburu nilai A, sudah memiliki bekal dasar untuk bertempur nanti di dunia kerja. Ah, perasaan saya jadi tidak enak...


Sunday, February 8, 2009

A Night in The Old Town







Actually, this is my “little project”. I have some intentions to re- design of my life. I think I should do some advantage things to improve my English, for instance, because I have less grammar. Okay, so I will tell u about my happiness because we sometimes must bored if someone tells u about sadness, right? (but it’s all OK if u had very generous friends).

On beautiful Wednesday afternoon, I and Puri treated our college friends at Blok M, somewhere in South Jakarta and many young people hang out with their fellows there. I know even though we’re slim women but we have an enormous taste for food. Any kinds of halal-food. So, we ate roasted chicken at the edge of Blok M area. And ribs. Ooohhh..what a food! ( I don’t tell u where the restaurant is. They don’t endorse us. Hahaha)

We’re women who called “wonder women”. While we’re together, we have to do some adventurous. No, no..we don’t want to go to malls. It just waste our (limited) budget. We usually do some fun, cheap, and the point is we take many pictures. Narcissism! FYI, Jakarta has no art if it only was built for jet-set-places. Since Jakarta has many artsy spots, we decided to get insane at Kota Tua. In English: Old Town. Whooo… (for more information, check it out: kotatua.blogspot.com. Or u can googling, guys, for details).

We know, the best thing in the world is when we’re happy, all beloved people laugh with us. But once we’re in sorrow, they will serve their shoulders with pleasure. I hope we’re belong together. Without stabing each other..