Selasa (29/4/08) - "Mau ke kondangan, Mbak? Rapih beneeeer, Mas! Pake sarung mau ke desa mana?"
Ya ampun, ini hanya salah satu langkah simpel mempertahankan budaya bangsa. Terserah negeri serumpun seberang sana mengklaim batik itu warisan budaya mereka. Tapi, Indonesia lebih orisinal, dong. Dan kami sebagai mahasiswa (ciieehh..) ini salah satu langkah simpel mencintai produk dalam negeri.
Sependapat dengan Muara Bagdja di Koran SINDO. Biarkan gempuran butik Chanel, Lanvin, sampai Dior ke Indonesia, tapi ada 'perang' kalau batik harus dihidupkan. Dan untuk kami yang sebagian besar masih disubsidi orang tua, biarkan Allure atau Alun Alun Indonesia hadir di mal-mal mewah. Toh kami masih bisa memburu batik di Pasar Klewer, Bringharjo, atau pasar dekat rumah dengan harga miring. Siapa bilang mau gaya itu mahal? Putar akal saja.
Oh ya, langkah awal mudah membedakan batik, lihat saja warna dasar dan corak batiknya. Saya dapat bocoran dari Mbak Lesthi selaku fashion journalist (i'm gonna miss u) dan pengusaha kebaya saat pameran di JCC. Batik jogja itu warna dasarnya hitam dengan bentuk geometris yang teratur. Batik Solo itu coraknya lebih kecil-kecil dengan warna dasar coklat. Batik Pesisir seperti Cirebon warnanya lebih berani karena sudah ada akulturasi budaya dan coraknya lebih ramai. Hmm, mungkin ada yang lebih tahu soal batik? Saya tertarik ikut nge-batik di Museum Tekstil nih. Apalagi saya keturunan Jawa yang identik dengan batik.
Hmm, batik motif kontemporer sekarang juga banyak. Eh, kami masih terlihat cantik dan tampan dengan batik, 'kan?
P.S: Untuk MPers, pakai batik atau kebaya sekalian boleh juga. Pasti sensasinya beda! Hidup Indonesia!