Thursday, June 26, 2008

HAK ANGKET : DPR PUNYA GAYA


Oleh: R Adelia R

Juni ini saya disuguhkan media massa mengenai macam-macam berita yang membuat saya terus geleng-geleng kepala dan menghela napas panjang. Dari berita yang membuat saya gregetan kalau melihat sosok “necis”-nya Artalyta, Inggris yang ternyata tidak ikut main di Euro Cup 2008 (Bohong. Saya tidak sampai prihatin, kok, hanya sebatas menyayangkan), sampai isu terpanas minggu-minggu ini berkaitan dengan wafatnya mahasiswa UNAS dan aksi brutal pengunjuk rasa pada Selasa (25/6) lalu.

Sampai rumah, jarang-jarang saya sudah sampai jam delapan malam. Ketika makan malam dan menonton TV  bersama ayah dan ibu (nah, kalau situasi ini sudah jarang terjadi pada saya saat hari kerja. Kali ini tidak bohong), salah satu stasiun TV menayangkan diskusi tentang hak angket DPR. Ayah saya serius menonton, ibu serius beres-beres meja makan, saya serius menggerutu. DPR bikin apa lagi, sih?

Secara tidak langsung, hak angket dilaksanakan karena tekanan dari para pengunjuk rasa yang meminta pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM. Tak usah ditanya lagi mengapa DPR baru melaksanakannya. Di salah satu surat kabar memuatnya sebagai headline dan mencetak partai mana saja yang setuju dan tidak setuju akan hak angket ini. Walhasil, bisa ditebak. Partai Golkar dan Partai Demokrat memilih untuk tidak setuju. Yang lain? Jelas setuju. Hmm, mumpung ada kesempatan ”unjuk gigi”.

Tapi, yang perlu digarisbawahi adalah hak angket bukan untuk membatalkan kenaikan harga BBM. Hal tersebut sudah tidak mungkin diturunkan lagi. Hak angket tersebut adalah untuk menyelidiki dan menuntut alasan SBY dan tim yang sepakat menaikkan harga BBM. Jeda sebentar. Lantas? Apa gunanya hak angket? Toh, nyatanya adalah harga BBM sudah positif naik di Indonesia. Tarik napas sebentar. Lalu, berarti mahasiswa selama ini teriak-teriak menyuarakan aspirasi rakyat jadinya percuma? Unfortunately, yes. Jadi, masyakarat hanya disuguhkan cerita ”macan ompong”? Kurang lebih begitu.

Walau sudah ”kadung”, media dan masyarakat jangan menyerah dan tetap menjadi watchdog pemerintah karena ada banyak PR yang harus dituntaskan pejabat negara itu. Salah satunya adalah kasus suap jaksa BLBI dan korupsi dari hasil warisan kolonial. Ngomong-ngomong, para pelaku tersebut jelas merugikan hajat hidup orang banyak dan merusak citra negara. Jahatnya saya, mengapa tidak dihukum mati sekalian? Orang Indonesia itu sudah tambeng¸ susah jeranya kalau hanya hukuman seumur hidup. Ironisnya, hukum sekarang bisa diperjual-belikan (catatan : profesi lain; makelar kasus)

Kembali ke soal hak angket. Sebelumnya, pasti kita pernah mendengar hak interpelasi. Apa beda kedua hak DPR tersebut? Simpel saja. Hak angket bertujuan menyelidiki kebijakan pemerintah yang krusial. Sedangkan hak interpelasi adalah meminta keterangan pemerintah tentang kebijakan yang diambil pemerintah.

Yang jelas, hak-hak ini menimbulkan kemungkinan. Bisa berdampak akan ketidakpercayaan DPR terhadap pemerintah. Atau pemerintah yang justru sebel dengan DPR karena gagalnya hak angket atau hak interpelasi dan menganggap DPR tidak konsisten. Ehm, kita semua sudah cukup tahu ketiga lembaga (eksekutif, yudikatif, legislatif) itu ketahuan ”borok”-nya seperti apa. The big question mark is: Pada siapa rakyat percaya dan meminta perlindungan?

Tuesday, June 24, 2008

KALA AKROBAT MENJELAJAHI DUNIA DIGITAL

 

Oleh : Rizky Adelia / Foto-foto: Indah Pratiwi
João Paulo P. Dos Santos dan Guillaume Dutrieux menampilkan sirkus kontemporer dalam rangkaian Printemps Français di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

João, pemain akribat pada tiang dan Guillaume, pemain terompet, berkolaborasi menyuguhkan pertunjukan sirkus kontemporer. Kedua seniman ini menjelajahi dunia artistik yang unik dan gerakan tubuh yang melampaui hukum gravitasi. Pertunjukan mereka ini mengajak Anda pada batas realitas dengan persepsi visual yang bercampur aduk serta ruang suara berlipat ganda. Video dan unsur elektronik mengambil peran penting dengan membuat pemain berlipat ganda berkat gambar dan suara.

Ketika Anda duduk dan menikmati ambience ruang di sekitarnya, jangan harap Anda akan menyaksikan peralatan-peralatan seperti tali-temali, holahoop, atau properti sirkus yang biasa Anda saksikan zaman dahulu. Yang ada hanya sebuah tiang dan alat musik synthesizer berukuran mungil.

Sirkus kontemprer ini berlangsung sekitar 60 menit dengan harga tiket Rp.30.000,00 per orang untuk kelas balkon dan Rp. 50.000,00 per orang untuk kelas festival. Hampir semua tempat duduk terisi oleh penonton yang terdiri dari para ekspatriat, wartawan, mahasiswa, serta keluarga yang mengajak anak-anak mereka menyaksikan sirkus ’langka’ di Indonesia.

Kedua seniman ini memiliki keinginan yang sama untuk berkreasi dan memilih ”sirkus baru” (sirkus kontemporer) sebagai cara untuk mengekspresikan rasa seni mereka. João Paulo P. Dos Santos belajar di sekolah sirkus Chapitõ dari tahun 1996 hingga 1999 di Lisbon, kota kelahirannya. Lalu ia melanjutkan ke sekolah Sirkus Rosny hingga 2001. ia bergabung dengan Cie Cheptel Alëikoum yang anggotanya terdiri dari siswa angkatan ke-15 sekolah seni sirkus nasional Châlons en Champagne. Ia bergabung hingga 2003  untuk pertunjukan LeCirqle arahan Roland Shön. Ia juga berpartisipasi pada pertunjukan Océans et Eutopie karya Philippe Genty (1998) dan Ring karya Félix Ruckert (2002).

Sedangkan Guillaume Dutrieux adalah pemain terompet lulusan Konservatorium kota Paris dengan spesialisasi jazz. Ia banyak bekerja sebagai musisi atau komposer dengan berbagai grup atau pertunjukan musik dengan aliran yang berbeda-beda, seperti Sacre Du Tyman (jazz), Bosster (electro), Compagnie du Soleil Bleu (teater) dan Alpha Bondy (reggae). Tahun 2003, ia bertemu dengan Cie Cheptel Alëikoum dan tim Roland Shön. Ketika itu, Dutrieux bekerja sebagai pengarah musik dan akhirnya memutuskan untuk beralih aliran. Ia berniat sepenuhnya berorientasi pada proses penciptaan musik segala rupa. Musik dan suara berkaitan erat dengan proses penciptaan sebuah pertunjukan.

Pada malam itu, Anda akan ’dipaksa’ mengarungi sebuah seni pertunjukan yang sureal dan digitalisasi yang memukau.

Friday, June 20, 2008

STORY OF JAKARTA

Start:     Jun 14, '08 10:00a
End:     Jun 22, '08
Location:     Darmawangsa Square the Citywalk
Dalam rangka merayakan HUT Jakarta ke-481,
Creative Culture, Darmawangsa Square dan The Occasion
menyelenggarakan berbagai acara
yaitu:

Pameran Foto Kota Tua
Hasil karya 5 fotografer muda
(Nancy Tenlima, Priyagung Adhitama, Windy Miftah,
Poer Soebagyo, Dodit Wijanarko)
Foto-foto Gedung Lawas di Jakarta hasil pindai dari
Museum Sejarah Jakarta

Pameran Lukisan
Oleh Kelompok Pelukis dan Penulis Indah Pasar Baru
(S.Wito, Eko Bandhoyo, Agus S, Eeng S, Fathul Muin, Arif JAG,
Diedith K, Nano, Nanang, Nandang, Djustru, Osman Effendy,
Meshadi, Asep, Irma Gayatri)

Pameran Betawi
Makanan, Mainan, dll

Bertempat di Darmawangsa Square the Citywalk
Jl. Darmawangsa VI, Jakarta Selatan
Tanggal 14-22 Juni 2008

ART PERFOMANCE
Saksikan tari-tarian dan musik betawi
22 Juni 2008
Pk.13.00 – selesai
Darmawangsa Square the Citywalk
Jakarta Selatan

GRATIS
Mohon Sebarkan

Salam,
Alin SP Apriliani
0818819944 – 081317969944

Thursday, June 19, 2008

Mencari Sebelah Hati Yang Sempat Datang

Nun jauh dari kota Bucharest, ada seorang warga Jakarta yang memiliki nasib serupa dengan Nicolas. Namun, belum (dan pasti tidak) lebih jauh mengambil langkah seperti usaha yang dilakukan Nicolas. Sepertinya pepatah witing tresno jalaran soko kulino memang bukan sesuatu yang pasti. Reaksi kimia dalam tubuh dan perasaan manusia bisa timbul dan padam dalam satu jentikan jari. Ajaib!
Silahkan buka website ini:
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/06/tgl/19/time/083554/idnews/958851/idkanal/10

Monday, June 16, 2008

SAYA MAU SKRIPSI BEGITU

Date                 : June 13 2008
Time                 : 08.10 WIB
Place                : Graha Elnusa Lantai 15
Mood               : Bloody sleepy!!!!
Song                : Like You’ll Never See Me Again by Alicia Keys

Sembari menunggu kerjaan dari supervisor saya, sembari menghabiskan waktu yang masih saya anggap pagi buta, sembari menghilangkan rasa kantuk saya, jadi terpikir membahas tentang skripsi. Bukan. Bukan tentang judul apa yang apik untuk dianalisis. Sederhana saja. Tentang teknis pengerjaan skripsi.

Teman saya lagi mengeluh kekurangan uang karena skripsi menguras biaya hidupnya beberapa bulan belakangan ini. Biaya paling terasa adalah biaya cetak-mencetak dan itu sangat berhubungan dengan kertas.

Bagaimana tidak, sekali revisi dengan dosen, sekali coret, kita harus mengulang cetak lagi berkali-kali. Kertas sekarang memang mahal harganya. Jadi, saya punya ide (kalau pantas disebut ide), kenapa saat bimbingan tidak menggunakan skripsi versi digital? Maksud saya, kita tidak perlu mencetak banyak. File naskah skripsi cukup disimpan di USB. Saat bimbingan, bagi mahasiswa yang punya laptop, tunjukkan naskah skripsi itu dari layar laptopnya saja. Atau kampus punya banyak unit komputer di perpustakaan bagi mahasiswa yang tidak punya laptop. Jadi, tinggal colok USB saja.

Dengan begitu, menghemat kertas ’kan? Saat naskah skripsi sudah paten, sudah dirasa benar dan mantap, baru deh cetak dengan hard-cover, soft cover, dan cukup maksimal 3 kali mengkopi keseluruhan naskah skripsi.

Ide sederhana dan cupu ini secara tak langsung atas nama penghematan penebangan pohon. Tak bisa dipungkiri, permintaan kertas tetap banyak tapi pohon semakin berkurang. Indonesia sebagai paru2 dunia sudah mulai ’panik’ gara2 hutan2nya gundul (heelllooo..illegal logging issue). Ah, kalau begini ceritanya, saya harus cepat2 skripsi dong? Dua tahun lagi harga kertas untuk fotokopi dan percetakan pasti membengkak. Oh, Gusti!