Wednesday, February 27, 2008

Saatnya Merenovasi Moestopo

Kampus merah putihku itu memang mempunyai kisah yang panjang. Unsur sejarahnya pun masih melekat kuat pada bangunannya. Tapi, dilihat dari depan (apalagi belakang), Kampus Moestopo-ku  kok tidak ada indah-indahnya, ya?

Kampus Hang Lekir itu menjadi saksi bisu perjuangan pahlawan nasional RI, Moestopo. Pak Moes, begitu beliau akrab disapa, meninggalkan banyak teladan demi jalan yang ia tempuh, salah satunya yakni pendidikan.

Berawal dari sekolah kedokteran gigi, Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama) itu telah menjelma menjadi universitas dengan mahasiswa yang banyak (dan ngetop) dengan empat Fakultas; Kedokteran Gigi, Sosial Politik, Ekonomi, dan Komunikasi.

Usia bangunannya pun berarti memang sudah tua. Ya iyalah. Bangunan walaupun benda mati, ia ‘hidup’ seperti makhluk hidup. Bagaimana tidak, bangunan berdiri di atas tanah, diisi manusia, disiram air, angin, dan diterpa hujan, yang lama kelamaan akan menua dan mengalami kerusakan layaknya manusia yang sudah renta.

Ya, Moestopo-ku itu juga sudah tua. Coba Anda berdiri di depan bangunan itu (awas, tertabrak kendaraan) dan amati baik-baik. Kita telaah satu per satu. Hmm, tak ada pohon atau penghijauan lain, cek. Billboard iklan perusak pemandangan, cek. Cat yang kusam, cek. Oh, silahkan masuk saja sedikit ke dalamnya. Sampah-sampah menghiasi lanskap bangunannya, cek. Toilet seperti neraka, cek. Coba ke belakang, Bapak Ibu. Ampun, kotornya!

Jika dibandingkan dengan gedung kampus swasta sebelah, jauh. Dari segi fasilitas saja sudah ketinggalan. Ibarat balap formula 1, sudah tertinggal beberapa lap, begitu. Dengan rumah Pak Moes ditengah-tengah, sedikit membuat bingung bagi yang pertama kali bertandang ke kampus ini.

Yah, sudahlah. Singkatnya gedungnya sudah jelek dan dalamnya juga. Perlu diberi sentuhan estetika dengan rancang bangun dan interior yang membuat Moestopo makin menggoda untuk dimasuki dan dijadikan tempat belajar (dan gaul) yang nyaman. Bagaimana caranya? Singkat saja. Pakai jasa arsitek dan desainer interior, dong, Bapak Ibu. Duh!

Orang sering mengira memanfaatkan jasa arsitek atau desainer interior itu mahal. Padahal, kita sebagai klien tak perlu sungkan berdiskusi soal bujet dengan para ahli itu. Lagipula, dengan hasil yang maksimal di tangan orang berpengalaman tentu akan mendapat kompensasi yang sebanding.

Utarakan bagaimana keinginan dan selera dari pihak Moestopo. Arsitek dan desainer akan mengolaborasi keinginan dan aspek-aspek desain yang harus diterapkan pada bangunan.

Oh, saya punya saran. Saya adalah penggemar bangunan klasik seperti gaya arsitektur art-deco. Kampus Moestopo akan terlihat unik dan historical dengan konsep arsitektur tersebut. Unsur sejarah tidak akan terhapus. Tapi, unsur modern juga tak ketinggalan.

Untuk gaya bangunan boleh saja art-deco. Namun, interiornya bisa simpel klasik dengan benda-benda hi-tech yang tetap memberi kesan ‘kampus modern’, begitu. Art-deco itu mudahnya bisa dilihat pada gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda yang didominasi oleh warna putih sebagai warna dominan interior dan eksterior.

Saya paling semangat saat membahas warna. Hmm, warna hitam sepertinya masih berkesan ‘kering’. Merah dan putih? Maksa, ah. Begini saja, agar tidak monoton perpaduan warna-warna cerah yang soft seperti beige bisa dipilih karena akan berkesan melapangkan. Maklum, Moestopo ‘kan sempit.

Arsitektur lanskap Moestopo juga perlu dibenahi. Lahan hijau hanya sepersekian persen dari keseluruhan luas bangunan. Susah memang karena lahan kampus yang terbatas. Soal penghijauan, tanaman pot yang digantung bisa jadi solusi praktis. Asal tidak dirusak karena civitas akademika yang usil karena buang puntung rokok atau daunnya dicabut-cabut sebagai pelampiasan pacar yang nyebelin.

Satu hal yang penting, rumah Pak Moes harus tetap berada di situ. Tapi, terserah ya mau ikut direnovasi atau tidak. Keluarga alm. Moestopo-lah yang punya hak penuh atas rumah tersebut. Kalau urusan gedung kampus, urusannya berkaitan dengan mahasiswa juga yang sudah mengeluarkan biaya banyak tapi tidak sebanding dengan fasilitas yang didapatkan (curhat colongan).

Lantas, sekarang? Saya ikhlas jika saya lulus dan keluar dari Kampus Moestopo ini dengan sense of space yang sangat minim. Asalkan ketika sepuluh tahun lagi saya mengajak anak saya berkunjung ke kampus uminya, saya bisa bangga menceritakan bahwa kampus ini menyimpan sejuta kenangan manis.

Termasuk senyuman manis para pejabat tinggi kampus yang concern terhadap estetika bangunan tempat mereka berinteraksi sesama civitas akademika. Yah, daripada uang mahal yang sudah saya bayar masuk ke kantong mereka tanpa memperhatikan ambience kampusnya.

*Selamat untuk Drs. H. Sunarto, M.Si yang telah menjabat sebagai Rektor Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama).